Rabu, Maret 19, 2025
No menu items!
spot_img

Definisi Musafir yang Boleh Meninggalkan Puasa: Bagaimana dengan Sopir Bus Dalam Kota?

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Para ulama menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar safar yang dilakukan seseorang bisa dijadikan dasar untuk terbebas dari perintah puasa.

Menurut Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku “Tafsir Al-Baqarah 183”, syarat-syarat itu antara lain: Syarat pertama bagi orang yang disebut musafir adalah posisinya keluar rumah dan melewati batas kota.

Para ulama menegaskan bahwa seseorang dikatakan musafir hanyalah ketika dia sudah mulai melaksanakan perjalanan itu, yang ditandai dengan keluar dari rumah dan telah melewati batas kota, atau wilayah tempat tinggalnya.

Orang yang baru berniat akan melakukan safar, sementara dia belum mulai bergerak, belum dikatakan musafir, maka dia belum lagi mendapatkan keringanan.

Orang yang naik mobil lalu berputar-putar di dalam kota, meski jaraknya panjang dan memakan waktu tempuh yang lama, tidak dikatakan sebagai musafir.

Jalan tol dalam kota di Jakarta punya panjang lintasan yang melingkar sejauh kurang lebih 45 kilometer. Berarti kalau kita berputar dua kali, jaraknya sudah mencapai 90 kilometer. Tetapi tetap saja kita tidak bisa disebut sebagai musafir, karena yang disebut safar itu bukan berputar-putar di dalam satu kota.

Seorang pembalap kerjanya juga berputar-putar di sirkuit balap. Kalau dijumlahkan, jarak yang ditempuhnya pasti mencapai ratusan kilometer. Namun pembalap itu dipastikan bukan musafir, karena safar itu bukan berputar-putar di dalam sirkuit.

Para sopir dan awak bus kota, angkot dan angkutan lainnya juga tidak berstatus musafir, meski pun seharian menyusuri jalan yang boleh jadi jaraknya ratusan kilometer.

Jarak Minimal

Syarat kedua adalah bahwa safar itu harus cukup jauh, sehingga minimal sudah juga dibolehkan buat mengqashar salat. Menurut Ibnu Rusyd, makna yang masuk akal dari kebolehan tidak berpuasa dalam safar ini karena masyaqqah (keberatan).

Dan masyaqqah ini hanya terjadi bila perjalanan itu jauh, sejauh diperbolehkannya mengqashar salat. Dan ketentuan syarat ini telah menjadi ijma’ di antara para sahabat Nabi SAW.

Dalam hal ini jumhur ulama menetapkan jarak itu adalah jarak yang ditempuh di masa lalu sejauh perjalanan kaki selama dua hari.

Namun yang menjadi ukuran bukan lamanya perjalanan, melainkan jauhnya perjalanan itu sendiri, yaitu sekitar 89 kilometer atau lebih tepatnya 88,704 kilometer.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW kepada penduduk Makkah untuk tidak mengqashar salat kecuali bila mereka menempuh perjalanan sejauh 4 burud, atau sejauh jarak antara Makkah dan Usafan.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar salat bila kurang dari 4 burud, dari Makkah ke Usfan”. (HR Ad-Daruquthuny)

Jarak Safar

Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat jarak perjalanan seseorang dikatakan sebagai musafir minimal adalah jarak perjalanan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik unta selama tiga hari tiga malam.

Dasarnya adalah semua hadis tentang perjalanan yang selalu disebut adalah perjalanan yang memakan waktu tiga hari. Salah satunya disebutkan tentang kebolehan musafir untuk selalu mengusap khuff-nya selama tiga hari perjalanan.

Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam keadaan suci selama tiga hari tiga malam (HR. Ahmad Nasa’i Tirmizi)

Kalau kita hitung-hitung, berarti jarak yang dijadikan syarat oleh mazhab ini untuk boleh tidak berpuasa lebih jauh.

Jumhur ulama menetapkan perjalanan dua hari, sedangkan mazhab Al-Hanafiyah menetapkan 3 hari. Sehingga perbandingan jaraknya 1,5 kali lebih jauh dari yang disyaratkan oleh Jumhur ulama. Maka jarak itu adalah 1,5 x 88,704 Km = 132,611 Km

Sedangkan para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah umumnya tidak menetapkan batas jarak minimal. Dalam pandangan mereka, asalkan disebut sebagai safar, berapa pun jaraknya, maka seseorang sudah boleh untuk berbuka puasa.

Dalil yang mereka kemukakan adalah sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah ketika menolak pendapat jumhur ulama dalam masalah jarak minimal.

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Al-Quran hanya menyebutkan musafir itu boleh tidak berpuasa, tanpa menyebutkan jarak minimal perjalanannya.

Selain itu mazhab Al-Hanabilah ini berhujjah bahwa Rasulullah SAW mengqashar salatnya walau pun hanya berjarak 3 farsakh atau 3 mil.

Status Safar Bukan untuk Mengerjakan Kemaksiatan

Syarat berikutnya yang diajukan oleh para ulama adalah bahwa status safarnya itu bukan safar yang bertujuan untuk mengerjakan kemaksiatan atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.

Misalnya, safarnya itu melakukan pembegalan di jalan, atau perampokan, penodongan, penipuan atau hal-hal yang lain yang jelas-jelas bertujuan haram. Termasuk safar dengan tujuan untuk bermabuk-mabukan, berzina, atau berjudi. Sebab kebolehan tidak berpuasa itu sifatnya keringanan yang Allah SWT berikan, namun keringanan itu tidak diberikan kepada mereka yang dalam safarnya bertujuan yang tidak dihalalkan oleh Allah SWT.

Hanya saja, madzhab Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini. Dalam pandangan mereka, maksiat memang haram, tetapi safarnya sendiri tidak haram.

spot_img

Riwayat Hidup KH Faqih Usman: Ulama, Pejuang, dan Tokoh Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | KH Faqih Usman lahir pada 27 Februari 1904 di Gresik, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga santri...

More Articles Like This