“SAYA selalu membaca buku-bukunya Pak Din. Kami membaca buku yang sama, hanya di kesimpulannya saja yang berbeda.”
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy dalam Diskusi Buku Merawat Matahari dan Manusia Limited Edition di Perpustakaan Nasional, Senin (13/1/2025) malam. Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang menjadi keynote speaker, dengan sigap menanggapi begitu naik ke mimbar.
“Prof. Dr. Muhadjir Effendy ini bagi saya dekat di hati, namun jauh di pemikiran,” ujarnya.
Ucapan Din bukan tanpa dasar. Muhadjir pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Muktamar Muhammadiyah di UMM ketika Din pertama kali terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Dalam perjalanan berikutnya, Muhadjir bergabung dalam kepengurusan PP Muhammadiyah. Kini, mereka bahkan bertetangga di Ranting Muhammadiyah Pondok Labu.
Namun, pandangan mereka sering kali berbeda, terutama terkait isu strategis. Salah satu contoh mencolok adalah soal tawaran tambang kepada Muhammadiyah. Din secara tegas menginginkan Muhammadiyah menolak tawaran tersebut, sementara Muhadjir berada di balik keputusan untuk menerimanya. Perbedaan ini menggambarkan dinamika dalam tubuh Muhammadiyah, sebuah organisasi yang menonjolkan kultur egaliter. Kepemimpinan Muhammadiyah bukanlah soal dominasi, melainkan kolaborasi. Semua dilakukan bersama demi mencapai kemaslahatan.
Baca juga: Pantulan Sang Surya di Balik Monas
Kepemimpinan Egaliter Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki prinsip bahwa kepemimpinan adalah tentang kesetaraan dan keterbukaan terhadap perbedaan. Dalam praksisnya, hidup bermuhammadiyah berarti menjunjung nilai-nilai ukhuwah (persaudaraan), hurriyah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adalah (keadilan). Prinsip ini mendorong kerja sama, saling menghargai, dan mengakui perbedaan. Dalam kerangka ini, pimpinan Muhammadiyah berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali.
Sejarah mencatat perbedaan pendapat dalam Muhammadiyah sebagai hal yang wajar. Bahkan di akhir masa pemerintahan Joko Widodo, Din dikenal sebagai salah satu tokoh yang lantang mengkritik Presiden. Meskipun Muhammadiyah tidak selalu sejalan dengan sikap politik Din, Persyarikatan tetap memberikan kebebasan politik kepada setiap anggotanya sebagai bagian dari hak asasi. Sikap ini mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat di tengah kemajemukan.
Baca juga: Untold Story Muhadjir Effendy Jadi Menteri Kabinet Jokowi
Belajar dari Sejarah Islam
Sejarah Islam sendiri mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan pendapat. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari, diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan para sahabatnya, “Janganlah salah seorang dari kalian salat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Ketika waktu asar tiba di tengah perjalanan, para sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Sebagian berpegang pada makna tekstual sabda Nabi dan menunda salat hingga sampai di tujuan, sementara sebagian lainnya memahami perintah Nabi dalam konteksnya dan memilih melaksanakan salat tepat waktu.
Ketika persoalan ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Kisah ini menggarisbawahi pentingnya toleransi terhadap perbedaan tafsir selama dilandasi niat baik.
Diaspora kader Muhammadiyah di berbagai bidang, termasuk partai politik, adalah fakta yang tidak terbantahkan. Di sinilah posisi penting Muhammadiyah sebagai payung besar yang menaungi anggotanya sangat dibutuhkan, meskipun mereka berasal dari latar belakang politik yang beragam.
Pimpinan Muhammadiyah di semua level harus bijak, tidak membatasi silaturahmi hanya kepada pihak yang sejalan secara pemikiran atau kebijakan politik. Sebaliknya, Muhammadiyah harus membuka pintu silaturahmi bagi semua partai politik, meskipun terdapat perbedaan mendasar dalam pandangan atau sikap.
Perbedaan pemikiran antara Din Syamsuddin dan Muhadjir Effendy adalah cerminan sehat dari dinamika organisasi seperti Muhammadiyah. Hidup bermuhammadiyah berarti memperluas persahabatan dan merawat kesetiakawanan sosial. (*)