Oleh: Dwi Taufan Hidayat
PAGI itu, sinar matahari memantul lembut di sela dedaunan pohon rindang di depan sekolah. Udara segar mengiringi langkah-langkah kecil anak-anak yang memasuki gerbang, sementara para ibu saling menyapa. Pohon besar itu, dengan kursi kayu yang mengelilinginya, menjadi tempat favorit para ibu menunggu anak mereka. Di bawah rindangnya, mereka berbagi cerita, tawa, dan gosip kecil yang terkadang berbumbu persaingan halus.
“Lila, parfum apa ini?” tanya Dina sambil menghirup aroma yang menyeruak di udara.
“Oh, ini? Baru aku beli kemarin, dari butik langgananku. Limited edition dari Paris,” jawab Lila, sambil memperlihatkan botol kecil yang berkilau seperti kristal.
“Paris? Wah, seleramu memang luar biasa,” sahut Dina, matanya berbinar.
Di kursi sebelah, Rani hanya tersenyum tipis. Ia sibuk merapikan tasnya, mencoba menutupi wajah yang sedikit murung. Sementara itu, Siska, sosok yang selalu membawa aura tenang, duduk di sudut, mengamati percakapan tanpa banyak berkata-kata.
“Rani, kamu kok diam saja?” Lila melirik ke arah Rani. “Kamu kan biasanya ikut ngobrol. Apa kamu kurang tidur?”
“Oh, nggak apa-apa, cuma sedikit capek,” jawab Rani pelan.
Siska memandang Rani dengan tatapan penuh pengertian. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh sahabatnya itu, tetapi memilih untuk tidak bertanya di depan yang lain.
Obrolan berlanjut, membahas tren tas terbaru dan diskon besar di mal. Dina, dengan gaya khasnya yang suka mengorek informasi, mulai melirik ke arah Rani. “Rani, kapan-kapan kamu harus ikut kita belanja. Jangan terlalu sibuk, dong. Kamu kan butuh refreshing juga.”
“Terima kasih, Dina. Mungkin lain kali,” jawab Rani singkat.
Siska mengalihkan pembicaraan. “Kemarin, aku membaca artikel bagus tentang pentingnya menjaga hati kita dari prasangka buruk. Kata Ibnul Qayyim, mencela seseorang itu dosanya bisa lebih besar dari dosa yang dilakukan orang tersebut. Kita harus hati-hati dalam berbicara.”
Semua terdiam sejenak. Lila dan Dina saling pandang, sementara Rani tampak sedikit lega dengan topik yang berubah.
“Ya, itu benar,” sahut Lila, meski nadanya terdengar sedikit ragu. “Tapi kan kita hanya bercanda. Kadang ngobrol seperti ini kan wajar saja.”
Siska tersenyum lembut. “Bercanda itu boleh, tapi kita juga harus tahu batasnya. Kadang, tanpa sadar, ucapan kita bisa melukai hati orang lain.”
Angin bertiup lembut, membawa ketenangan yang seolah meredakan ketegangan kecil di antara mereka. Pohon rindang itu menjadi saksi, seperti biasa, atas dinamika yang terjadi di antara para ibu.
Namun, di balik obrolan pagi itu, ada cerita yang belum terungkap. Rani, meski tampak tenang, menyimpan masalah besar di rumahnya. Suaminya, seorang pengusaha yang dulunya sukses, kini tengah menghadapi kebangkrutan. Beban itu ia tanggung sendiri, tanpa pernah mengeluh kepada teman-temannya.
Di sisi lain, Lila yang selalu tampil mewah juga menyembunyikan sesuatu. Di balik koleksi parfumnya yang mahal, ada rahasia besar tentang utang yang mulai menumpuk. Ia berusaha mempertahankan citra diri di hadapan teman-temannya, meski hatinya sering kali gelisah.
Dina, dengan sikapnya yang kritis dan suka mencari tahu, mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di antara mereka. Ia diam-diam memperhatikan gerak-gerik Rani dan Lila, menyimpan rasa ingin tahu yang perlahan tumbuh menjadi spekulasi.
Saat anak-anak mulai keluar dari kelas, ibu-ibu itu bersiap-siap untuk pulang. Mereka berpamitan, meninggalkan pohon rindang yang kembali sunyi.
Namun, pohon itu tahu, hari-hari mendatang akan dipenuhi dengan cerita yang lebih rumit. Intrik, rahasia, dan persaingan perlahan akan mengisi ruang-ruang kosong di bawah rindangnya.
Dan bagi Siska, yang selalu menjadi penengah, tantangan baru akan datang: bagaimana menjaga harmoni di antara mereka, ketika perlahan-lahan, rahasia mulai terkuak dan persahabatan diuji oleh ambisi serta prasangka.
Bersambung ke Seri 2: Rahasia di Balik Senyum Rani