Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Di Bawah Pohon Rindang (11): Kesaksian Rani

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Di bawah pohon rindang yang kini terasa lebih sepi dari sebelumnya, Rani duduk terdiam, matanya menatap kosong ke arah halaman sekolah. Hatinya penuh dengan gelisah, perasaan yang sudah lama ia pendam akhirnya tak bisa lagi ditahan. Semua yang terjadi selama ini—perselingkuhan suaminya, persahabatan yang rapuh, dan intrik yang berkembang di antara ibu-ibu—terasa begitu membebaninya. Hari ini, ia merasa waktunya telah tiba untuk mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya.

Setelah berhari-hari menghindar, Rani akhirnya memutuskan untuk berbicara. Tidak hanya tentang kehidupan rumah tangganya yang porak-poranda, tetapi juga tentang pengkhianatan yang ia rasakan dari orang-orang terdekatnya, termasuk teman-teman yang dulu ia anggap sebagai sahabat. Ia tahu ini akan mengubah semuanya—baik hubungan dengan suami, maupun dengan ibu-ibu yang kini telah terbagi menjadi dua kubu. Namun, Rani merasa sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan dan rasa takut. Ia harus mengungkapkan semuanya, meskipun itu berarti harus mengorbankan banyak hal.

Hari itu, Lila, Dina, dan Siska sudah berkumpul di bawah pohon rindang seperti biasa. Namun, suasana terasa kaku, lebih seperti ruang sidang daripada tempat pertemuan yang penuh canda tawa. Dina sudah memulai sesi gosipnya tentang kemewahan Lila dan pertemuan suaminya dengan wanita muda, sementara Lila mencoba menjaga sikapnya agar tidak tampak terpuruk. Siska yang bijak berusaha menyelaraskan situasi, mencoba menenangkan keduanya.

Namun, yang membuat suasana semakin mencekam adalah keputusan Rani untuk berbicara. Ia berdiri perlahan dan menghadap mereka. Semua mata tertuju padanya.

“Aku ingin berbicara,” kata Rani dengan suara yang lebih tegas dari yang ia kira bisa ia hasilkan. “Aku merasa sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini.”

Lila dan Dina saling pandang, sedangkan Siska menatap dengan perhatian yang penuh. Rani melanjutkan.

“Aku tahu banyak dari kalian mungkin sudah mendengar tentang masalah rumah tanggaku, tentang suamiku yang berselingkuh. Tetapi aku ingin kalian tahu, ada lebih banyak lagi yang terjadi. Suamiku, yang dulu aku anggap segalanya, kini tidak lebih dari seorang pria yang hilang dalam ambisi politik dan kebohongan.”

Rani berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Aku merasa seperti aku bukan lagi istrinya, hanya sebuah formalitas yang harus dijaga. Dia sudah terlalu lama mengabaikan aku dan anak-anak. Dan aku sadar, aku sudah cukup dengan semua itu. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya. Aku harus melepaskan diri.”

Lila, yang selama ini sering mengeluh tentang suaminya yang menjauh, kini bisa merasakan beban yang ada dalam hati Rani. Meskipun mereka bersaing dalam dunia yang penuh intrik ini, Lila tidak bisa menahan perasaan kasihan yang muncul. “Rani, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku paham perasaanmu. Aku juga merasa begitu. Suamiku semakin sibuk dengan pencalonannya, semakin jauh dariku.”

Dina, yang mendengarkan dengan seksama, mulai merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun ia selalu menggunakan gosip untuk memanipulasi situasi, mendengar pengakuan Rani membuatnya merasa canggung. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu asyik dengan intrik dan permainan politik, tanpa benar-benar memahami beban yang ditanggung teman-temannya.

Siska, yang sejak awal berusaha menjaga keseimbangan, akhirnya membuka suara. “Rani, Lila, kita semua terjebak dalam dunia yang kita ciptakan sendiri. Kita terbuai dengan ambisi, dengan citra yang kita bangun, hingga kita lupa apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini—hubungan kita, kepercayaan, dan ketulusan. Aku tidak bisa menasihati kalian dengan bijak karena aku juga terperangkap dalam situasi yang sama. Tapi, mari kita pikirkan bersama, apakah semua ini sebanding dengan harga yang harus kita bayar?”

Rani menundukkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku terlalu lama diam. Aku takut, takut kehilangan segalanya. Tapi hari ini, aku tahu aku harus memilih. Aku akan meninggalkan dia. Aku akan hidup untuk diriku sendiri, untuk anak-anakku.”

Lila, yang mendengarkan, merasakan ada bagian dari dirinya yang tergetar. Meskipun ia masih terjebak dalam dunia yang penuh kemewahan dan ambisi, mendengar kesaksian Rani membuatnya mulai mempertanyakan pilihan hidupnya. “Aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini, terus berpura-pura bahagia.”

Dina, yang terdiam mendengarkan, akhirnya menyadari bahwa tak ada yang lebih penting dari kebahagiaan sejati. Gosip dan permainan politik yang selama ini ia bangun terasa semakin hampa. Ia ingin melangkah keluar dari dunia yang ia ciptakan, meskipun itu berarti harus kehilangan banyak hal.

Siska melihat bahwa akhirnya, setelah semua peristiwa ini, ketegangan yang ada di antara mereka mulai mencair. Ia tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah sama lagi, tetapi setidaknya ada secercah harapan untuk perbaikan. “Rani, Lila, kalian berdua adalah ibu-ibu yang luar biasa. Jangan biarkan apapun menghancurkan kebahagiaan kalian. Kita semua layak untuk hidup dengan damai dan penuh kasih.”

Pada saat itu, meskipun banyak air mata yang jatuh, ada juga secercah harapan yang muncul. Mereka mungkin belum tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa sedikit lebih ringan—beban yang ada di hati mereka sedikit terangkat. Setelah semuanya terungkap, mungkin ini adalah awal dari sebuah perubahan yang lebih baik, meskipun jalan menuju itu masih panjang.

Di bawah pohon rindang yang kini kembali terasa hangat, mereka duduk bersama. Tidak ada lagi gosip, tidak ada lagi persaingan. Hanya ada keheningan yang penuh pemahaman. (Bersambung)

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (14)

Batas yang Tak Terlihat Oleh: Sugiyati Suara itu menggema, seolah datang dari seluruh penjuru gua yang gelap. Setiap kata yang...

More Articles Like This