Oleh: Dwi Taufan Hidayat
PAGI itu, seperti biasa, para ibu berkumpul di bawah pohon rindang setelah mengantar anak-anak mereka. Udara terasa sejuk, namun suasana di antara mereka mulai terasa berbeda. Rani duduk di ujung kursi, lebih banyak menunduk dan sesekali melamun. Senyumnya, meski masih tampak, tidak lagi sehangat dulu.
“Rani, kamu kelihatan lesu lagi hari ini,” ucap Dina, membuka pembicaraan sambil melirik ke arah Lila. “Ada masalah, ya? Jangan diam saja, dong. Kita kan teman.”
“Oh, nggak ada apa-apa. Aku cuma kurang tidur,” jawab Rani singkat, mencoba menghindari perhatian lebih.
Namun, Dina tidak berhenti di situ. “Kamu nggak lagi stres karena sesuatu, kan? Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Siapa tahu kita bisa bantu.”
Rani hanya tersenyum tipis, tetapi dalam hatinya ada perasaan bergejolak. Ia tahu, kata-kata Dina tidak selalu tulus. Dina terkenal suka mencari tahu urusan orang lain, sering kali demi gosip yang akan ia sebarkan.
Lila yang duduk di sebelah Dina mencoba mengalihkan pembicaraan. “Eh, ngomong-ngomong, kemarin aku beli tas baru. Koleksi terbaru, loh! Harganya lumayan, tapi worth it banget.”
“Oh ya? Boleh lihat fotonya?” Dina langsung antusias, membiarkan perhatian pada Rani menghilang sejenak.
Siska, yang baru datang, memperhatikan Rani dari kejauhan. Ia duduk di sebelahnya, memberikan senyum hangat. “Rani, kalau ada apa-apa, cerita sama aku, ya. Kadang berbagi bisa meringankan beban.”
Rani menoleh, matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Sis. Aku baik-baik saja, kok.”
Siska tidak memaksa, tetapi hatinya tahu ada sesuatu yang sedang ditutupi Rani.
Malam itu, di rumah sederhana yang mulai terasa sempit oleh beban masalah, Rani duduk termenung di ruang tamu. Ia memandangi dokumen-dokumen di tangannya—tagihan-tagihan yang menumpuk dan surat peringatan dari bank.
“Berapa lama lagi kita bisa bertahan?” pikirnya. Suaminya, Arman, baru saja pulang dengan wajah lesu. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa tanpa berkata apa-apa.
“Kamu ketemu siapa tadi malam, Mas?” tanya Rani, suaranya pelan namun tegas.
Arman terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada kesal. “Kenapa kamu selalu curiga? Aku hanya bertemu klien. Kita butuh uang, Rani. Aku harus cari cara.”
Rani menarik napas panjang. Ia tahu ada yang disembunyikan suaminya. Beberapa hari terakhir, ia mendengar desas-desus dari tetangga bahwa Arman sering terlihat bersama seorang wanita di kafe. Namun, Rani memilih diam, menahan diri untuk tidak memperbesar masalah.
Keesokan harinya, Rani kembali ke bawah pohon rindang dengan hati yang berat. Ia mencoba tetap tersenyum, meski pikirannya penuh dengan kegelisahan.
Dina, seperti biasa, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Rani, suamimu lagi sibuk banget ya? Aku dengar-dengar, dia sering rapat malam-malam. Hebat juga, ya.”
Rani terdiam, mencoba menahan emosi. Siska yang duduk di sebelahnya langsung menanggapi. “Dina, kadang kita nggak perlu tahu semua urusan orang lain. Bisa jadi mereka sedang menghadapi hal berat yang kita nggak mengerti.”
Dina tersenyum tipis, merasa sedikit tersindir. Namun, ia tetap menyimpan rasa ingin tahunya.
BACA JUGA: Di Bawah Pohon Rindang (1): Awal Kisah
Sementara itu, Lila mulai merasakan bahwa Rani menyimpan sesuatu. “Rani, kalau ada yang bisa kami bantu, jangan ragu, ya. Kadang, cerita itu bisa bikin hati lebih lega.”
Rani hanya tersenyum kecil. “Terima kasih, Lila. Aku akan baik-baik saja.”
Namun, di balik senyum itu, Rani tahu bahwa ia tidak bisa menyimpan rahasia ini selamanya. Ia merasa beban di rumah semakin berat, sementara suaminya semakin jauh.
Beberapa hari kemudian, Dina mendengar kabar dari seseorang yang bekerja di kantor Arman. “Kamu tahu nggak? Suami Rani sering banget ketemu wanita di luar kantor. Katanya, mereka terlihat akrab banget.”
Dina langsung menyimpan informasi itu. Bagi Dina, ini adalah bahan gosip yang menarik. Ia tidak sabar untuk membicarakannya di bawah pohon rindang.
Di hari berikutnya, Dina mulai melemparkan sindiran di tengah obrolan mereka. “Eh, ngomong-ngomong, kalian percaya nggak kalau ada suami yang kelihatannya baik, tapi ternyata diam-diam punya rahasia besar?”
Lila langsung tertawa kecil. “Ya, siapa tahu, kan? Kadang kita nggak pernah tahu isi hati orang.”
Rani yang mendengar itu langsung merasa sesak. Ia tahu kata-kata itu ditujukan padanya, meski Dina tidak menyebut nama.
Siska menatap Dina dengan tajam. “Dina, kita harus hati-hati dalam berbicara. Kadang, tanpa sadar, ucapan kita bisa menyakiti orang lain.”
Dina hanya tersenyum tipis, merasa dirinya tidak salah.
Malam itu, Rani kembali duduk sendiri di ruang tamunya. Ia memikirkan semua kata-kata yang ia dengar hari itu. Perasaan tertekan semakin menghimpit, tetapi ia tahu bahwa ia harus mengambil keputusan.
“Besok, aku akan bicara dengan Siska,” gumamnya. “Aku butuh seseorang untuk mendengarkan tanpa menghakimi.”
Pohon rindang itu mungkin menjadi saksi dari awal masalah ini, tetapi Rani berharap, di bawah naungannya, ia bisa menemukan jalan keluar dari badai yang sedang ia hadapi.
Bersambung ke Seri 3: Lila dan Gaya Hidupnya yang Berlebihan’