Senin, Februari 3, 2025
No menu items!

Di Bawah Pohon Rindang (3): Lila dan Gaya Hidupnya yang Berlebihan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Pagi yang cerah kembali menyapa, tetapi ada aura yang berbeda di bawah pohon rindang. Lila tiba dengan penuh percaya diri, membawa tas terbaru dari merek ternama. Parfum mahal yang ia semprotkan meninggalkan jejak aroma di udara, memancing decak kagum dari beberapa ibu yang lebih muda.

“Lila, tasmu ini keluaran terbaru, kan?” tanya Dina, yang duduk dengan senyum penuh arti.

“Ya, betul. Aku beli di butik kemarin. Kebetulan ada diskon, meski ya tetap saja lumayan mahal,” jawab Lila sambil memperlihatkan tasnya dari berbagai sudut.

Beberapa ibu memandang dengan kagum, tetapi di sudut kursi, Rani hanya menghela napas. Ia menunduk, berusaha menghindari percakapan yang terasa penuh pamer. Siska yang duduk di sebelahnya menepuk pelan tangannya, memberikan dukungan dalam diam.

Lila terus berbicara, menceritakan pengalamannya belanja di mal mewah. Ia bahkan menyebutkan bagaimana ia sering membayari beberapa ibu yang ikut bersamanya. “Kadang aku pikir, belanja itu nggak hanya buat kebutuhan, tapi juga terapi,” katanya dengan tawa kecil.

Dina ikut tertawa, tetapi dalam hatinya mulai muncul kecurigaan. “Gaya hidup Lila ini luar biasa, ya. Tapi, dari mana semua itu? Apa benar suaminya bisa membiayai semuanya?” pikir Dina sambil diam-diam mengamati.

Di rumah Lila, suasana tidak seindah yang terlihat. Suaminya, Bimo, seorang pengusaha properti, baru saja memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai walikota. Ambisinya besar, tetapi kondisi keuangan keluarga mereka sebenarnya tidak sebaik yang terlihat.

“Lila, kamu harus berhenti berbelanja yang tidak perlu,” kata Bimo dengan nada tegas.

“Tapi ini semua untuk menjaga penampilan, Mas. Kamu tahu, kan, aku sering ketemu orang penting di acara-acara. Mereka pasti memperhatikan bagaimana aku tampil,” jawab Lila dengan nada membela diri.

Bimo menghela napas panjang. “Kita ini sedang banyak utang, Lila. Aku sudah ambil banyak pinjaman untuk kampanye. Jangan sampai gaya hidup kita malah jadi bumerang.”

Lila terdiam sejenak, tetapi dalam hatinya ia tidak bisa melepaskan kebiasaan mewahnya. Ia merasa, sebagai istri calon walikota, penampilannya harus sempurna.

Beberapa hari kemudian, Dina membawa berita baru ke bawah pohon rindang. “Kalian tahu nggak? Aku dengar suaminya Lila itu lagi ambisius banget. Katanya dia pinjam uang ke banyak tempat buat kampanye.”

“Oh ya? Tapi kok Lila kelihatan nggak khawatir sama sekali?” tanya salah satu ibu.

“Ya, mungkin karena dia nggak tahu, atau pura-pura nggak peduli,” jawab Dina dengan nada menyindir.

Lila yang baru tiba langsung menyadari bahwa pembicaraan itu tentang dirinya. Namun, dengan senyum percaya diri, ia mencoba mengabaikannya.

“Eh, Dina, aku baru dapat undangan acara sosial dari istri pejabat. Kamu mau ikut?” tanya Lila, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Dina tersenyum kecil, tetapi dalam hatinya ia semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan Lila.

Suatu sore, Dina tidak sengaja bertemu dengan seorang kenalan lama yang bekerja di salah satu bank. Percakapan mereka membuka rahasia baru.

“Lila? Oh, iya. Suaminya sering ke sini. Mereka punya beberapa pinjaman besar, bahkan sudah mulai menunggak cicilan,” kata kenalannya.

Dina terkejut, tetapi senyumnya perlahan mengembang. Ia merasa ini adalah informasi berharga yang bisa ia gunakan.

Keesokan harinya, di bawah pohon rindang, Dina kembali melancarkan serangannya. “Lila, aku salut deh sama kamu. Di tengah banyak orang yang kesulitan, kamu tetap bisa hidup mewah. Rahasianya apa, sih?”

Lila tersenyum kaku. “Ya, rezeki kan sudah diatur. Yang penting kita bersyukur.”

“Oh, tentu. Tapi kadang aku penasaran, apa nggak berat ya kalau ada urusan keuangan mendadak?” Dina berkata dengan nada yang tampak polos, tetapi penuh sindiran.

Siska yang mendengar itu langsung memotong. “Dina, kita nggak boleh menilai orang dari luar. Kita juga nggak tahu perjuangan mereka. Lebih baik fokus ke diri sendiri.”

Namun, Lila sudah merasa tersindir. Dalam hatinya, ia mulai gelisah. “Apa Dina tahu sesuatu?” pikirnya.

Malam itu, Lila duduk di ruang tamu, memandangi tas-tas mahal dan perhiasannya. Ia mulai merasa, apa yang selama ini ia lakukan hanya untuk menutupi rasa takut dan tidak percaya dirinya.

“Kalau semua orang tahu soal utang kita, apa yang akan terjadi?” gumamnya.

Bimo yang mendengar itu mendekat. “Lila, aku tahu ini berat. Tapi kalau kita terus berpura-pura, semuanya bisa hancur. Kita harus realistis.”

Lila menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia sadar, di balik kemewahan yang ia tunjukkan, ada banyak hal yang rapuh dan bisa runtuh kapan saja.

Di bawah pohon rindang, keesokan harinya, Lila datang dengan senyum yang lebih tenang. Ia tahu, ini adalah awal dari perjalanan untuk menerima kenyataan, meski harus melawan kebiasaan lamanya.

Bersambung ke Seri 4: Tanda-tanda Perselingkuhan

Rayakan HUT ke-5, Aliansi Jurnalis Video Perkuat Peran Jurnalisme pada Era Digital

JAKARTAMU.COM - Aliansi Jurnalis Video (AJV) merayakan hari jadi ke-5 pada 2 Februari 2025, sekaligus menggelar diskusi publik bertajuk "Industri media di...

More Articles Like This