PAGI itu, suasana di bawah pohon rindang tampak seperti biasa. Obrolan ringan mengalir tentang aktivitas sehari-hari, meski sesekali terselip topik yang terasa lebih tajam. Namun, di balik senyum-senyum basa-basi, ada ketegangan yang perlahan merambat di antara ibu-ibu yang berkumpul.
Rani datang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di sudut, memegang cangkir kopi yang dibelinya di perjalanan. Matanya sedikit bengkak, menunjukkan kurangnya tidur. Siska, yang sudah terbiasa membaca suasana hati Rani, duduk di sebelahnya.
“Kamu kelihatan lelah lagi, Rani,” ucap Siska lembut.
Rani tersenyum kecil. “Iya, cuma banyak pikiran.”
Siska menatapnya dengan penuh pengertian, tetapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, Dina datang dengan langkah cepat. Ia membawa energi baru ke dalam kelompok itu, seperti biasa dengan antusiasme yang sering kali diselimuti oleh rasa ingin tahu yang besar.
“Eh, kalian tahu nggak? Aku dengar sesuatu yang menarik,” kata Dina sambil melirik ke arah Rani.
Lila, yang duduk di seberang mereka, langsung menangkap maksud Dina. “Apa lagi, Dina? Kamu selalu punya cerita baru,” katanya sambil tersenyum tipis.
Dina mendekat sedikit, menurunkan suaranya seperti hendak menyampaikan rahasia besar. “Kemarin, aku ke kafe dekat kantor suamiku. Aku lihat seseorang yang aku kenal sedang duduk dengan seorang wanita muda. Tebak siapa?”
Semua mata kini tertuju pada Dina, kecuali Siska yang tetap tenang.
“Arman, suaminya Rani,” bisik Dina.
Wajah Rani mendadak pucat. Tangan yang memegang cangkirnya bergetar. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi kata-kata Dina seperti petir yang menyambar dadanya.
“Dina,” potong Siska tegas, “kamu yakin dengan apa yang kamu lihat? Hati-hati menyampaikan sesuatu, terutama jika itu bisa menyakiti orang lain.”
“Tentu aku yakin,” jawab Dina tanpa ragu. “Aku tahu itu dia. Mereka terlihat cukup akrab.”
Malam itu, Rani duduk sendiri di ruang tamu. Kata-kata Dina terus terngiang di telinganya, meskipun ia ingin sekali mengabaikannya. Ia sudah lama mencurigai Arman, tetapi mendengar gosip itu dari orang lain membuatnya merasa terpojok.
Ketika Arman pulang, ia mencoba menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Namun, rasa penasaran itu terlalu besar.
“Mas, kamu kemarin ke kafe dekat kantormu?” tanyanya, suaranya berusaha terdengar santai.
Arman terdiam sejenak, lalu menjawab, “Iya, aku ada janji dengan klien.”
“Klien?” Rani mencoba mencari kejujuran di mata suaminya, tetapi Arman menghindari tatapannya.
“Rani, aku sudah lelah. Jangan mulai dengan tuduhan yang aneh-aneh,” kata Arman dengan nada tegas, lalu berlalu ke kamar.
Rani hanya bisa terdiam, tetapi hatinya semakin penuh dengan keraguan.
Keesokan harinya, Dina kembali membawa cerita baru. Kali ini, ia berbicara lebih terbuka di bawah pohon rindang, tanpa memperhatikan perasaan Rani yang duduk di sana.
“Semalam aku ngobrol sama kenalan yang kerja di kantor Arman,” katanya. “Katanya, Arman sering banget keluar malam. Alasannya selalu rapat, tapi siapa tahu kan?”
Lila mengangkat alis. “Mungkin dia memang sibuk, Dina. Jangan terlalu cepat berasumsi.”
“Ya, mungkin. Tapi aku rasa ada yang nggak beres,” balas Dina dengan senyum penuh arti.
Rani hanya menunduk. Ia tidak sanggup membantah, tetapi tidak juga ingin membenarkan. Siska akhirnya angkat bicara, mencoba menghentikan percakapan yang mulai tidak sehat.
“Dina, kita ini sahabat. Kalau ada sesuatu yang kita lihat, lebih baik kita bicara langsung dengan cara yang baik, bukan menyebarkan asumsi,” ucapnya tegas.
Namun, Dina hanya mengangkat bahu, merasa dirinya tidak salah.
Malam itu, Rani memutuskan untuk pergi ke kafe yang disebutkan Dina. Ia ingin memastikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Dengan hati yang berdebar, ia duduk di sudut ruangan, memperhatikan setiap orang yang masuk.
Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok Arman. Suaminya datang bersama seorang wanita muda, berpakaian rapi dengan senyum yang ramah. Mereka duduk di meja dekat jendela, berbicara serius, tetapi sesekali tertawa kecil.
Hati Rani hancur. Semua dugaan yang selama ini ia pendam terasa menjadi kenyataan. Namun, sebelum air matanya jatuh, ia berdiri dan keluar dari kafe tanpa sepatah kata.
Di bawah pohon rindang keesokan harinya, Rani datang dengan wajah yang lebih tenang. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang dilihatnya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya.
Siska mendekatinya, memegang tangannya dengan lembut. “Kalau ada apa-apa, aku di sini untuk kamu, Rani,” katanya tulus.
Rani tersenyum kecil. “Terima kasih, Siska. Aku rasa aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”
Di balik rindangnya pohon itu, Rani mulai merencanakan langkah baru dalam hidupnya. Ia tahu bahwa kebenaran tidak selalu mudah diterima, tetapi ia tidak ingin tenggelam dalam kesedihan lebih lama.
Bersambung ke Seri 5: Dina, Sang Penggerak Gosip