Oleh: Dwi Taufan Hidayat
ANGIN pagi berembus lembut di bawah pohon rindang, menggoyangkan daun-daun hijau yang melindungi kursi kayu tempat ibu-ibu biasa berkumpul. Pagi itu Dina tampak lebih ceria dari biasanya. Dengan langkah percaya diri, ia menghampiri Lila dan beberapa ibu lainnya yang sedang mengobrol santai.
“Pagi, semuanya! Aku punya berita seru lagi,” kata Dina sambil tersenyum lebar, seolah-olah cerita yang dibawanya adalah harta karun.
Lila meliriknya dengan penasaran. “Apa lagi kali ini, Dina? Sepertinya selalu ada gosip baru darimu.”
Dina tertawa kecil. “Yah, aku kan cuma menyampaikan apa yang aku dengar. Katanya, ada yang melihat suaminya Rani lagi nongkrong sama perempuan muda di sebuah kafe. Dan… katanya mereka kelihatan akrab banget!”
Rani, yang duduk di ujung kursi dengan pandangan menunduk, langsung merasa darahnya berdesir. Wajahnya memerah, tetapi ia mencoba menyembunyikannya.
“Dina, kamu pasti salah lihat. Suami Rani sibuk kerja. Mana mungkin dia ada waktu untuk itu,” sahut Siska, memotong pembicaraan sebelum gosip itu semakin liar.
“Eh, aku cuma bilang apa yang aku dengar, kok,” Dina membalas dengan nada santai. “Lagipula, kita nggak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, kan?”
Dina: Perantara atau Pemicu?
Dina memang dikenal sebagai sosok yang gemar mengorek informasi. Ia sering mengatakan bahwa tujuannya hanya untuk menghibur atau mempererat hubungan, tetapi kenyataannya, banyak gosip yang ia sebarkan justru memicu konflik.
“Dina itu memang pintar membuat cerita terdengar seru,” kata salah satu ibu sambil berbisik pada Lila saat Dina beranjak mengambil minuman.
“Ya, tapi kadang-kadang aku merasa dia terlalu berlebihan,” balas Lila dengan nada pelan.
Di balik sikapnya yang ceria, Dina sebenarnya memiliki agenda tersendiri. Ia menikmati perhatian yang ia dapatkan setiap kali ia membawa gosip baru. Bagi Dina, menjadi pusat informasi adalah caranya untuk merasa diakui dan dianggap penting.
Namun, sikapnya ini mulai mempengaruhi hubungan di bawah pohon rindang. Banyak ibu yang mulai merasa tidak nyaman, terutama Rani, yang kini sering menjadi sasaran gosip Dina.
Rani: Korban Gosip yang Tertekan
Di rumah, Rani mulai merasa semakin tertekan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi gosip yang beredar tentang suaminya. Hubungan dengan Arman, yang sudah dingin, kini terasa semakin jauh.
“Mas, aku dengar sesuatu dari Dina,” kata Rani dengan hati-hati suatu malam.
“Apa lagi sekarang?” jawab Arman dengan nada lelah.
Rani menarik napas panjang. “Katanya, kamu sering terlihat di kafe dengan seorang wanita muda. Apa itu benar?”
Arman meletakkan ponselnya, menatap Rani dengan tajam. “Kamu benar-benar percaya gosip itu? Aku sudah bilang, aku cuma kerja. Dina itu cuma suka cari masalah.”
Rani tidak menjawab. Ia ingin percaya pada suaminya, tetapi gosip yang terus beredar membuat pikirannya tidak tenang.
Siska: Sosok Penengah
Di bawah pohon rindang, Siska mulai menyadari bahwa gosip yang Dina sebarkan mulai merusak hubungan di antara mereka. Ia tahu bahwa jika hal ini dibiarkan, persahabatan yang dulu erat bisa hancur.
“Dina, aku ingin bicara,” kata Siska suatu pagi, saat mereka berdua duduk bersebelahan.
“Apa, Sis?” jawab Dina sambil tersenyum.
“Aku rasa, kita harus lebih berhati-hati dalam bicara. Kadang, tanpa sadar, apa yang kita katakan bisa menyakiti orang lain.”
Dina tertawa kecil. “Maksudmu soal Rani? Aku cuma bercanda, kok. Lagipula, kalau nggak ada yang salah, kenapa harus tersinggung?”
Siska menatap Dina dengan tegas. “Itu bukan soal benar atau salah, Dina. Tapi, ketika kita menyebarkan cerita tanpa tahu kebenarannya, itu bisa jadi fitnah. Fitnah itu dosanya besar, bahkan lebih besar dari membunuh.”
Dina terdiam sejenak, tetapi kemudian ia hanya mengangkat bahu. “Ya, mungkin kamu benar. Tapi aku nggak bermaksud jahat, kok.”
Siska menghela napas. Ia tahu, Dina tidak akan berubah dalam semalam, tetapi ia berharap kata-katanya bisa menjadi pengingat.
Akhir Seri: Awal Ketegangan
Di pagi yang lain, Rani akhirnya berbicara langsung pada Dina di bawah pohon rindang. Dengan suara gemetar tetapi penuh keberanian, ia berkata, “Dina, aku dengar kamu menyebarkan cerita tentang suamiku. Kalau kamu punya masalah denganku, bicarakan langsung. Jangan menyebar gosip yang membuat semuanya jadi buruk.”
Dina terkejut, tetapi ia segera menutupi rasa bersalahnya dengan tawa kecil. “Rani, aku nggak bermaksud menyakiti. Aku cuma bilang apa yang aku dengar.”
“Kalau kamu nggak yakin, jangan bilang apa pun,” jawab Rani tegas.
Siska yang menyaksikan percakapan itu merasa lega sekaligus khawatir. Ia tahu bahwa ketegangan di bawah pohon rindang ini baru permulaan.
Di sisi lain, Dina merasa tersinggung dengan sikap Rani. Dalam hatinya, ia mulai menyusun rencana baru untuk membuktikan bahwa apa yang ia katakan bukan sekadar gosip.
Bersambung ke Seri 6: Pertemuan Rahasia Kedua