Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Malam itu, di bawah pohon rindang, Lila duduk termenung. Hawa malam yang sejuk tak mampu mengusir kegelisahan yang terus mengganggunya. Meskipun di luar tampak sempurna, dengan suaminya yang semakin mendekati kemenangan dalam pemilu walikota, Lila merasa cemas. Tumpukan kemewahan yang ia kumpulkan, barang-barang branded yang terus dipamerkan kepada teman-temannya, terasa semakin hampa. Semua itu kini hanya menjadi pelarian dari kenyataan yang semakin menekan.
Lila selalu berusaha menunjukkan kepada ibu-ibu di sekolah betapa sukses dan bahagianya hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa semakin terperangkap dalam citra yang ia ciptakan. Suaminya, yang kini semakin populer dalam dunia politik, tidak hanya semakin sibuk dengan kampanyenya, tetapi juga semakin menjauh. Lila merasa dirinya hanya menjadi pelengkap dalam perjalanan ambisi suaminya.
Dina, yang terus memanfaatkan setiap kesempatan untuk menciptakan intrik, akhirnya menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Melalui penyelidikan diam-diam, Dina menemukan bukti bahwa sebagian besar kemewahan yang dimiliki Lila berasal dari pinjaman besar yang tersembunyi dari suaminya. Lila mungkin berusaha menunjukkan kesuksesan melalui barang-barang mahal dan belanja di mal, namun semua itu terbalut dalam hutang yang membengkak. Dina tahu bahwa ini bisa menjadi bahan gosip yang menghancurkan citra Lila, dan ia pun segera merencanakan bagaimana cara menyebarkan informasi ini.
Dina, yang kini merasa semakin kuat dengan dukungannya terhadap suami Lila dalam pemilu, merencanakan langkah selanjutnya. “Waktunya mengungkapkan kebenaran,” pikir Dina, membayangkan bagaimana ketegangan yang ada antara ibu-ibu bisa semakin memuncak dengan gosip baru yang ia bawa.
Di sisi lain, Lila mulai merasa semakin tertekan. Suaminya semakin fokus pada pencalonannya dan jarang pulang ke rumah. Meskipun ia selalu berusaha menunjukkan kehidupan yang sempurna kepada dunia luar, di dalam rumah, ia merasa seperti seorang istri yang terlupakan. Suaminya yang dulu penuh perhatian kini hanya memikirkan kampanye dan peluang politik. Semakin ia menyembunyikan masalahnya, semakin ia merasa terasing. Apa gunanya semua harta dan kemewahan ini jika hatinya kosong dan sepi?
Pada suatu malam, setelah selesai mengikuti acara kampanye suaminya, Lila berusaha membuka percakapan. “Kamu tahu, aku merasa semakin jauh darimu. Kita tidak pernah lagi menghabiskan waktu bersama, dan aku merasa semakin terisolasi,” ungkap Lila dengan suara yang hampir tak terdengar.
Suaminya yang tampaknya terfokus pada pesan-pesan dari tim kampanyenya hanya menjawab seadanya. “Kita punya tujuan besar, Lila. Semua ini untuk masa depan kita dan keluarga.” Namun, Lila tahu, jawabannya hanyalah kebohongan yang ia paksa terima setiap hari.
Lila mulai berpikir, apakah kemewahan ini benar-benar sepadan dengan kesepian yang ia rasakan? Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, antara mempertahankan citra kesuksesan atau menghadapi kenyataan pahit tentang suaminya dan kehidupannya yang sebenarnya.
Pada saat yang bersamaan, Dina sudah mulai menyebarkan gosip tentang kemewahan Lila yang ternyata didanai oleh utang. Dengan kecerdasannya, Dina memastikan informasi ini sampai ke ibu-ibu lainnya, yang mulai meragukan kesuksesan Lila. Mereka yang dulu memujinya karena gaya hidup mewah dan penampilannya yang sempurna, kini mulai mempertanyakan sumber dari semua itu.
Rani, meskipun sedang bergulat dengan masalah rumah tangganya sendiri, merasa simpati terhadap Lila. Ia tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan ia tidak bisa membiarkan Lila merasa sendirian dalam situasi ini. Namun, Rani juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Lila kini lebih fokus pada citra sosialnya daripada masalah pribadi yang sudah lama tersembunyi.
Siska, yang tetap mencoba menjadi penengah, mendekati Lila dengan hati-hati. “Lila, kamu tahu bahwa hidup bukan hanya tentang barang-barang mewah atau bagaimana orang lain melihatmu. Jangan biarkan semua itu mengendalikanmu.” Siska berbicara dengan lembut, mencoba membantu Lila menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada penampilan luar.
Namun, Lila hanya diam. Ia tahu bahwa Siska benar, tetapi ia merasa terlalu jauh terperangkap dalam kebohongan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Setiap kali ia melihat ke cermin, ia hanya melihat bayangan dirinya yang semakin hilang di balik kemewahan yang ada. Semua yang ia banggakan kini terasa sangat kosong.
Sementara itu, Dina semakin gencar menghasut ibu-ibu lainnya. Ia tahu bahwa kemenangan dalam pemilu ini bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang bagaimana ia bisa mendapatkan keuntungan pribadi. Ia memanfaatkan perpecahan antara Lila dan Rani untuk memperbesar pengaruhnya, menyarankan bahwa siapa pun yang mendukung suami Lila akan mendapatkan keuntungan dari kedekatan politik tersebut.
Di bawah pohon rindang, tempat yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa sepi. Ibu-ibu yang dulu menjadi sahabat, kini saling mendiamkan, terperangkap dalam jaringan intrik dan gosip yang semakin memperburuk keadaan. Lila, yang dulu merasa menjadi pusat perhatian, kini hanya bisa duduk terdiam, merenung tentang hidup yang telah ia pilih. (Bersambung)