Oleh: Tony Rosyid | Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
“Saya sudah sering dilaporkan ke KPK. Silahkan saja”, kata Jokowi. Tahun 2022 Jokowi dilaporkan ke KPK. Juga tahun 2024. Komunitas yang menamakan diri sebagai Rombongan Nurani ’98 adalah salah satu yang melaporkan Jokowi. Jokowi dituduh melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
KPK diam. Gak ada respon. Kenapa? Pertama, mungkin alat buktinya tidak cukup. Kalau alat bukti tidak cukup, bagaimana mau ditindaklanjuti?
Dalam laporan, ketika alat bukti tidak cukup, maka tidak bisa ditindaklanjuti. Apakah berarti tidak ada korupsi? Nanti dulu ! Tidak ada alat bukti bukan berarti tidak ada korupsi. Boleh jadi memang tidak ada. Boleh jadi ada, namun tidak ada buktinya. Soal praktek korupsi dengan bukti korupsi, itu dua hal yang berbeda.
Tidak semua korupsi itu bisa dibuktikan. Bergantung kepiawaian dari para pelaku korupsi. Kalau ketahuan, ya apes. Kalau gak ketahuan, ya aman. Ini hanya soal kelihaian.
Seorang pencuri, adakalanya ketahuan, ada kalanya tidak ketahuan. Dikatakan ketahuan, karena ditemukan alat buktinya. Kalau gak ada alat bukti, berarti gak ketahuan.
Kedua, mungkin KPK masih sibuk urus kasus lain. Kasus korupsi Hasto, dll. Sekali lagi, KPK boleh jadi masih amat sangat sibuk. Sehingga belum sempat baca laporan korupsi Jokowi. Mari kita berbaik sangka. Apalagi besok hari pertama berpuasa. Apa hubungannya? Gak ada sih.
Meski OCCRP (Organisation Crime and Corruption Reporting Project) telah menominasikan Jokowi sebagai pemimpin terkorup kedua di dunia, bukan otomatis Jokowi bisa diproses hukum. Hukum pidana di Indonesia punya prosedur yang berbeda dengan investigasi OCCRP. Standarnya tidak sama.
Di Indonesia, hukum bergantung pasal. Pasal-pasal seringkali tidak independen. Bergantung di tangan siapa dan kepada siapa pasal-pasal hukum itu ditafsirkan. Tafsir kepada orang kaya beda dengan tafsir kepada orang miskin. Sama pasalnya, tapi tafsirnya beda. Ini tidak selalu terjadi, tapi cukup sering. Sebut saja oknum. Supaya aman.
“Di Indonesia, orang miskin tidak boleh terlalu berharap kepada keadilan hukum. Orang kaya bisa memainkan keadilan.”
Beda lagi tafsir kepada penguasa dengan tafsir kepada rakyat kecil. Rakyat bisa dieksekusi tanpa pasal. Sedangkan penguasa justru bisa mengeksekusi pasalnya. Inilah yang seringkali membedakan hukum di Indonesia dengan OOCRP.
Di Indonesia, orang miskin tidak boleh terlalu berharap kepada keadilan hukum. Orang kaya bisa memainkan keadilan. Perbedaan-perbedaan ini harus anda pahami. Kalau gagal paham, anda akan kecewa berat, akibatnya pasti menderita.
Apakah untuk mengungkap kejahatan Jokowi butuh waktu lama? Ah, balik lagi kesitu. Anda mendesak terus. Ini aku kasih tahu, secara hukum, hingga detik ini, Jokowi “zero pelanggaran”. Juga “zero kejahatan”. Karena institusi hukum tidak melihat ada pasal hukum yang ditabrak.
“Institusi hukum memang gak melihat atau gak mau melihat?” Terserah anda saja deh. Mau ngomong apa, semua serba salah.
Jokowi aja senyum. Kenapa anda jadi marah-marah? Apa karena anda gak punya kesempatan korupsi, sehingga harus marah-marah terus.. makanya, belajar.. belajar… belajar apa? Pakai nanya lagi ! Ya belajar tidak korupsi.
Mendadak jadi ingat kasus Bank Centuri dan BLBI. “Tapi bukannya dua kasus itu kalah besar dengan kasus PSN PIK-2 dan korupsi di Pertamina?” Belum lagi korupsi di pertambangan…
Masa bodoh ah…
Jakarta, 28 Pebruari 2025