KETIKA pemerintah menaikkan cukai rokok, harapannya adalah ganda: mengendalikan konsumsi rokok dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, di balik logika ekonomi dan kesehatan publik tersebut, terdapat dinamika sosial yang lebih kompleks, terutama di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang menjadi konsumen terbesar produk tembakau ini.
“Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok.”
Ungkapan ini bukan sekadar hiperbola. Di banyak sudut desa dan kota kecil, perokok yang sudah kecanduan rela mengorbankan kebutuhan dasarnya demi sebungkus rokok. Ini bukan soal kemiskinan semata, tapi juga ketergantungan psikologis yang tak tersentuh oleh angka-angka statistik kebijakan.
Cukai Tinggi, Rokok Ilegal Menjamur
Kenaikan cukai membuat harga rokok legal melambung. Dampaknya, pasar rokok ilegal—yang tidak membayar cukai dan dijual jauh lebih murah—semakin marak. Produk ilegal ini tidak hanya merugikan negara dari sisi pendapatan, tetapi juga mengabaikan standar kualitas dan kesehatan yang seharusnya dijaga.
Menurut data Bea Cukai, potensi kehilangan negara akibat peredaran rokok ilegal bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Namun di sisi lain, bagi sebagian masyarakat, rokok ilegal justru dianggap “penyelamat” kantong yang tidak sanggup menjangkau harga rokok legal yang terus naik.
Telaah dari Berbagai Aspek
- Aspek Sosial:
Kenaikan cukai tanpa diiringi pendekatan sosial yang memadai justru memperlebar jurang antara kebijakan dan realitas. Perokok yang sudah candu tidak serta-merta berhenti. Mereka menyesuaikan—dengan mengorbankan asupan gizi, pendidikan anak, atau bahkan biaya pengobatan.
Dalam banyak kasus, rokok menjadi “pengganti” pelarian dari stres, pengangguran, dan tekanan hidup lainnya. Maka, menaikkan cukai tanpa menangani akar masalah sosialnya justru mengalihkan beban ke rumah tangga miskin.
- Aspek Ekonomi:
Secara fiskal, cukai rokok adalah sumber pemasukan negara yang signifikan. Pada 2024 saja, pendapatan dari cukai rokok mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Tapi, sebagian besar konsumennya adalah rakyat kecil.
Ketika harga rokok naik, konsumsi memang bisa sedikit menurun, tapi efeknya tidak proporsional. Sebaliknya, mereka beralih ke rokok murah, ilegal, atau lintingan. Efeknya bisa membuat industri legal yang menyerap banyak tenaga kerja terpukul.
- Aspek Kesehatan Masyarakat:
Argumen utama kenaikan cukai adalah pengendalian konsumsi demi kesehatan publik. Namun dalam kenyataannya, edukasi dan layanan rehabilitasi kecanduan masih minim. Perokok aktif sulit mendapat akses konseling, apalagi dari segmen akar rumput.
Rokok ilegal yang beredar tanpa pengawasan justru memperparah risiko kesehatan karena tidak jelas kandungan dan kualitasnya.
- Aspek Hukum dan Pengawasan:
Penegakan hukum terhadap produsen dan distributor rokok ilegal masih lemah. Di banyak daerah, operasi mereka berlangsung terang-terangan. Ini menjadi preseden buruk: cukai tinggi menciptakan insentif besar untuk pelanggaran hukum.
Tanpa sinergi antara aparat, industri, dan masyarakat, pasar gelap tembakau akan terus tumbuh.
- Aspek Psikologis dan Budaya:
Rokok telah menjadi bagian dari budaya maskulinitas, solidaritas, dan “kebiasaan laki-laki” di banyak tempat. Ada unsur penerimaan sosial terhadap perokok, bahkan sejak remaja. Membasmi kebiasaan ini tidak cukup dengan memukul harga, tetapi juga dengan mengubah nilai-nilai sosialnya.
Alternatif Kebijakan:
Apakah mungkin cukai rokok tidak dinaikkan? Mungkin, jika:
Pemerintah fokus pada edukasi, penyuluhan, dan rehabilitasi adiksi nikotin.
Penegakan hukum terhadap rokok ilegal diperkuat.
Subsidi atau insentif diberikan kepada petani tembakau dan industri rokok legal agar tetap hidup tanpa menaikkan harga terlalu tajam.
Penerapan sistem cukai yang berjenjang dan adil: rokok premium dikenai cukai tinggi, sementara rokok kelas bawah diperlakukan berbeda.
Pemerintah mulai mengalihkan sumber pendapatan ke sektor lain, mengurangi ketergantungan terhadap cukai rokok.
Cukai bukan sekadar alat fiskal, tapi juga alat sosial. Ketika digunakan secara serampangan, ia bisa melukai kelompok yang paling rentan. Menyembuhkan kecanduan rokok dan mengendalikan konsumsi tidak cukup dengan menaikkan harga. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang menyentuh aspek sosial, psikologis, hukum, dan ekonomi.
Jika tidak, kita hanya akan mengganti satu masalah dengan masalah lain: dari penyakit paru-paru menjadi kelaparan tersembunyi di meja makan keluarga miskin. (*)