JAKARTAMU.COM | Agus, seorang pria berusia 32 tahun asal Brebes, Jawa Tengah, merantau ke Jakarta tujuh tahun lalu dengan harapan mengubah nasib. Ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik garmen di kawasan industri Cakung. Gajinya sebesar UMR Jakarta, yaitu sekitar Rp5 juta per bulan. Namun ternyata itu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Awalnya saya pikir gaji UMR bisa cukup, tapi kenyataannya berat sekali. Setengah gaji saya habis buat bayar kontrakan kecil di pinggiran Jakarta. Sisanya buat makan, transportasi, dan kebutuhan anak saya. Kadang, belum sampai akhir bulan, uangnya sudah habis,” ujar Agus kepada Jakartamu.com, Sabtu (29/12/2024).
Agus hanya contoh kecil yang menggambarkan beratnya kelompok pekerja menghadapi tekanan ekonomi saat ini. Kondisi mereka diperkirakan semakin tertekan dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk meningkatkan pendapatan negara.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat basis penerimaan pajak dan mendukung pembiayaan pembangunan nasional.
“Langkah ini diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal dalam menghadapi tantangan ekonomi global,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Naiknya tarif PPN ini adalah solusi pemerintah untuk memperlebar ruang fiskal anggaran negara yang terus menyempit, salah satunya akibat utang. Beban utang terus bertambah dalam 10 tahun terakhir,¹ membuat anggaran yang bisa dialokasikan untuk program pembangunan makin terbatas.
Di bawah pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap PDB meningkat signifikan, terutama karena pembiayaan proyek infrastruktur besar-besaran dan belanja pandemi Covid-19. Pada akhir masa jabatan Jokowi, total utang pemerintah mencapai lebih dari Rp7.800 triliun, atau sekitar 40% dari PDB, masih dalam batas aman tetapi menimbulkan tekanan fiskal.
Pemerintah memiliki target untuk menurunkan defisit anggaran hingga di bawah batas 3% dari PDB, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kenaikan PPN merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan defisit melalui utang baru.
Baca juga: PPN 12%: Bom Waktu dan Bumerang Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Penolakan yang Meluas
Kebijakan ini segera memicu reaksi luas dari masyarakat, pakar ekonomi dan para pelaku usaha. Pasalnya naiknya tarif PPN bakal berdampak pada harga barang dan jasa yang berpotensi mengerek angka inflasi.
Sejumlah pelaku usaha menyatakan kekhawatiran mereka terhadap dampak kenaikan ini pada daya beli masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk menunda penerapan PPN 12% dengan alasan dapat membebani biaya produksi.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Darwoto menjelaskan, meski bahan pokok tidak dikenakan PPN 12% tetapi barang lain dalam rantai produksi tetap terdampak. Sebut saja bahan baku yang turut mengalami kenaikan harga atas pengenaan pajak dimaksud.
Dia mengingatkan, kebijakan PPN 12% juga akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama untuk barang-barang premium seperti beras, buah-buahan, ikan, udang serta daging.
Begitu pula dengan layanan kesehatan premium di rumah sakit VIP, pendidikan standar internasional serta listrik untuk pelanggan dengan daya 3.600-6.600 Volt Ampere.
“Kita berharap pemerintah lebih bijaksana melihat kondisi ke depan. Kalau kita lihat Vietnam malah jadi delapan persen, ini di kita kok malah naik,” katanya, Sabtu (29/12/2024)
Pengusaha, kata dia, merasakan dua hantaman hebat dalam waktu hampir bersamaan setelah sebelumnya pemerintah juga menaikan umpah minimum sebesar 6,5%.
Baca juga: Kenaikan PPN 12%: Keputusan Strategis atau Terpaksa?