Kamis, Januari 30, 2025
No menu items!

Dinamika dari Masa ke Masa: Kemitraan Muhammadiyah-NU untuk Bangsa

Must Read

JAKARTAMU.COM | Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki peran penting dalam membangun peradaban bangsa. Meski memiliki perbedaan dalam pendekatan keagamaan dan strategi gerakan, keduanya memiliki tujuan yang sama: menegakkan Islam sebagai rahmat bagi semesta, memajukan umat, serta menjaga keutuhan dan kedaulatan Indonesia.

Dinamika hubungan Muhammadiyah dan NU dari masa ke masa menunjukkan bahwa meski ada perbedaan, semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah selalu menjadi landasan dalam menjalin kemitraan demi kepentingan bangsa.

  1. Era Awal: Muhammadiyah dan NU dalam Lanskap Islam Nusantara
    Muhammadiyah lahir pada tahun 1912, dengan visi pembaruan Islam yang lebih modern, rasional, dan berbasis ilmu pengetahuan. K.H. Ahmad Dahlan menggagas sistem pendidikan yang menggabungkan agama dan sains serta menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Sementara itu, NU berdiri pada tahun 1926 di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai reaksi terhadap kebijakan pemerintah kolonial dan dinamika dunia Islam saat itu. NU menekankan tradisi keislaman berbasis pesantren, fiqh mazhab Syafi’i, serta nilai-nilai keislaman yang berkembang di masyarakat Nusantara.

Pada fase awal ini, hubungan Muhammadiyah dan NU cukup dinamis. Perbedaan dalam pendekatan keagamaan, terutama dalam praktik ibadah dan tradisi Islam lokal, sering menimbulkan perdebatan di level akar rumput. Namun, di tingkat elite, hubungan antarulama tetap terjalin baik, terutama dalam perjuangan melawan kolonialisme dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

  1. Era Kemerdekaan: Bersama dalam Perjuangan Kebangsaan
    Di era kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU menjadi kekuatan utama dalam perjuangan melawan penjajahan. Para tokoh dari kedua organisasi aktif dalam berbagai bidang, mulai dari politik, pendidikan, hingga diplomasi.

Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan K.H. Wahid Hasyim (NU) turut berperan dalam penyusunan konstitusi Indonesia, termasuk dalam perumusan Piagam Jakarta dan UUD 1945.

Muhammadiyah dan NU sama-sama mendukung Resolusi Jihad 1945 yang dikeluarkan oleh NU untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sejalan dengan sikap Muhammadiyah yang menyerukan jihad fisabilillah melawan penjajah.

Pada periode ini, hubungan keduanya cenderung harmonis karena memiliki musuh bersama, yaitu kolonialisme dan imperialisme.

  1. Era Orde Lama dan Orde Baru: Dinamika dan Tantangan Politik
    Pada era Orde Lama (1950-an), Muhammadiyah dan NU mulai mengalami perbedaan dalam orientasi politik.

NU memilih menjadi partai politik (Partai NU) dan bergabung dalam kabinet pemerintahan.

Muhammadiyah tetap berada dalam Masyumi, partai Islam yang berhaluan modernis.

Namun, setelah Masyumi dibubarkan pada 1960 dan NU tetap berada di pemerintahan, hubungan keduanya sempat merenggang. Muhammadiyah lebih memilih berdakwah di luar politik praktis, sementara NU tetap aktif dalam pemerintahan hingga era Orde Baru.

Pada masa Orde Baru (1966-1998), NU dan Muhammadiyah mengalami pola hubungan yang unik:

NU mulai mengambil pendekatan kultural sejak 1984, di bawah kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Muhammadiyah, di bawah kepemimpinan Amien Rais, mulai lebih aktif dalam demokratisasi dan reformasi politik menjelang jatuhnya Orde Baru.

Meskipun berada di jalur yang berbeda, keduanya tetap bersatu dalam mengawal reformasi dan menentang otoritarianisme.

  1. Era Reformasi dan Saat Ini: Sinergi dalam Menjaga Keutuhan Bangsa
    Di era reformasi, Muhammadiyah dan NU kembali menemukan momentum sinergi yang lebih kuat, terutama dalam membangun demokrasi, keadilan sosial, dan kebangsaan.

Muhammadiyah tetap dengan gerakan pendidikan, kesehatan, dan sosial berbasis Islam berkemajuan.

NU aktif dalam penguatan Islam rahmatan lil ‘alamin dan Islam Nusantara sebagai model Islam yang toleran dan inklusif.

Di berbagai kesempatan, kedua organisasi bekerja sama dalam berbagai isu strategis, seperti:

Melawan radikalisme dan terorisme dengan narasi Islam moderat.

Memperkuat ekonomi umat, melalui koperasi dan ekonomi berbasis pesantren dan amal usaha.

Mengawal kebijakan publik, terutama terkait isu pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial.

Meningkatkan literasi keagamaan dalam menghadapi tantangan era digital.

Bahkan, saat pandemi COVID-19, Muhammadiyah dan NU bersama dalam memberikan bantuan kesehatan, penyuluhan vaksinasi, dan program sosial bagi masyarakat terdampak.

  1. Masa Depan: Kolaborasi Menuju Peradaban Islam Indonesia yang Berkemajuan
    Melihat perjalanan panjang Muhammadiyah dan NU, masa depan kemitraan keduanya sangat menjanjikan, terutama dalam menghadapi tantangan zaman, seperti:

Tantangan globalisasi dan digitalisasi, yang memerlukan penguatan dakwah berbasis teknologi.

Isu lingkungan dan keberlanjutan, yang memerlukan pendekatan berbasis Islam dan kearifan lokal.

Pendidikan dan ekonomi umat, agar tetap kompetitif dalam era industri 4.0.

Menjaga harmoni sosial dan toleransi, agar Indonesia tetap damai dalam keberagaman.

Beberapa inisiatif yang bisa dikembangkan antara Muhammadiyah dan NU di masa depan adalah:

  1. Integrasi pendidikan Islam yang lebih inklusif, dengan sinergi antara sekolah, pesantren, dan universitas Muhammadiyah-NU.
  2. Peningkatan kerja sama ekonomi berbasis syariah, melalui penguatan koperasi, BMT, dan UMKM berbasis Islam.
  3. Penguatan dakwah digital bersama, agar Islam lebih mudah diakses oleh generasi muda.
  4. Mengawal kebijakan publik yang berorientasi keadilan sosial, baik di level nasional maupun daerah.
  5. Menjadi percontohan Islam moderat di dunia, dengan membangun jejaring global berbasis Islam rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan
Sejarah menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua kekuatan besar yang tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan bangsa ini. Meskipun memiliki perbedaan metodologi, keduanya memiliki tujuan yang sama dalam membangun peradaban Islam di Indonesia.

Hari ini dan di masa depan, Muhammadiyah dan NU diharapkan semakin bersinergi dalam membangun bangsa, bukan hanya untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia dan dunia.

Sebagaimana pesan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari:

“Bekerja untuk Islam harus ikhlas, jangan memusuhi sesama Muslim, karena kita semua bersaudara.”

Dengan semangat ini, Muhammadiyah dan NU akan terus menjadi tiang utama dalam menjaga dan membangun Indonesia yang lebih maju, damai, dan berkeadilan.

Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang

Berikut Ini yang Masuk Kategori Melalaikan Salat

JAKARTAMU.COM | Melalaikan salat merupakan perbuatan yang mendapatkan ancaman serius dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah...

More Articles Like This