DINAMIKA politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta kian menarik untuk diamati. Bukan pada siapa yang muncul sebagai pemenang atau sebaliknya. Namun kita memfokuskan diri pada proses politik yang kini berlangsung, baik di tingkat elite maupun gerakan akar rumput.
Pada tingkat elite telah terbaca bahwa sejak awal pencalonan itu, telah dihangatkan oleh cawe-cawenya Presiden Jokowi saat itu. Tampak, beberapa bulan sebelum 20 Oktober 2024, presiden menggalang pasukan politik gabungan yang amat kuat dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM-Plus).
Di tingkat akar rumput, kekecewaan itu sempat diungkapkan akan tidak berpartisipasi dalam pencoblosan, baik tidak hadir atau tidak akan menusuk ketiga gambar calon. Emosi massa dikedepankan, move on politik massa mandeg.
Strategi penguatan koalisi dilengkapi dengan disiapkannya pasangan calon lain untuk menghindari kotak kosong. Disengaja agar PDIP tinggal sendirian dan tak dimungkinkan mengajukan calonnya.
Rupanya, Mahkamah Konstitusi mengubah syarat pencalonan, dengan menurunkan besaran persentase perolehan suara. Tibalah “keberuntungan” bagi PDIP mendaftarkan pasangan calon gubernur/wakil gubernur pada saat menjelang jam penutupan.
Nama Anies Rasyid Baswedan, mantan calon Presiden sekaligus mantan Gubernur DKI Jakarta sempat hampir dipasangkan oleh PDIP dengan Rano Karno alias Bang Doel. Muncullah Pramono Anung dan Rano Karno, kader andalan PDIP yang ditunjuk oleh Megawati Soekarnoputri sebagai pasangan calon.
Sekalipun Jokowi yang kini sudah mantan presiden, rupanya masih dianggap kuat dan menentukan dalam mempersiapkan kemenangan RIDO (Ridwan Kamil/Suswono). Betapa tidak, Ridwan Kamil (RK) menunjukkan hal itu dengan sowan ke Solo. Bisa jadi antara lain karena angka survey mulai bertiup ke arah pasangan Pram-Doel, maka sang Panglima Besar KIM- Plus harus langsung dilapori agar turun tangan.
Selepas pisowanan Ridwan Kamil itu, terkabarkan bahwa Anies Baswedan yang tersingkir dari pencalonan – entah apapun sebab musababnya – secara terbuka dan konkrit mendukung Mas Pram-Bang Doel, dengan antara lain 15 ribu saksi yang disiapkan di 14.000 an TPS.
Hal ini sangat mungkin mendorong move on massa Anies Baswedan untuk memenangkan pasangan presiden yang pernah didukungnya tapi gagal mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
Di media sosial, dukungan terhadap penyatuan kekuatan Anies Baswedan kian tak terbendung. Bisa jadi, malah kian merontokkan pasukan khusus KIM-Plus yang diperankan oleh PKS beserta relawannya di basis dukungan utama kepada RIDO.
Gerakan elite politik Mas Pram-Bang Doel yang disangga Anak Abah, tentu tak bisa memperoleh 100% suara Anies Baswedan pada pilpres yang baru lalu untuk pilkada ini. Diketahui, bahwa pada pilpres 2024, Anies Baswedan hanya dikalahkan nol koma oleh gabungan kekuatan Jokowi dan Prabowo.
Kekompakan dan kesungguhan antarparpol pendukung KIM – Plus, kini menemukan momentum tantangan. Lebih bersatu daya dan dana menggerakkan mesin kapal politiknya ataukah mulai membuang jangkar di gelombang lautan mendekati pantai palagan.
Koalisi PNI dan Masyumi pernah terjadi menghadapi kekuatan PKI dan kiri lain, di masa 1945-1950 dan lanjutannya di masa Kabinet Parlementer 1950-1959. Anies Baswedan yang dipandang mewakili kekuatan Islam Politik, baik dari catatan aktivitas Anis Baswedan maupun sambungan politik biologis dengan kakeknya yang dulu wakil Masyumi di Konstituante.
Dan, kini PDIP yang merupakan kelanjutan dari PNI dengan kebangsaannya, apakah oleh sejarah kemudian dikoalisikan dengan Kekuatan Islam Politik yang direpresentasikan oleh Anies Baswedan? Bisa jadi, tidak representatif, karena PKS, PAN dan PKB telah mencapai di kekuatan yang mengucilkan PDIP. Ini merupakan kajian yang menarik di kemudian hari
Kemenangan atau kekalahan di palagan politik pilkada Jakarta ini, bisa saja dianggap biasa. Luar biasanya justru terletak pada dinamika: Jumbuhkah dengan nilai dan norma kedaulatan rakyat…?