Rabu, April 2, 2025
No menu items!
spot_img

Djuanda Kartawidjaja di Senja Demokrasi Coba-Coba

Djuanda aktif di Paguyuban Pasundan, selain di Muhammadiyah sebagai direktur sekaligus guru AMS Muhammadiyah Jakarta pada 1934-1937.

Must Read

Oleh: Joko Sumpeno, Jurnalis Senior Jakartamu.com

KURUN 1950-1959, Indonesia mencoba menjalankan kemerdekaannya yang setidaknya telah memperoleh pengakuan hukum internasional. Inilah hasil perjuangan bersenjata yang berselancar bersama upaya diplomasi, dipungkaskan oleh Mosi Integralistik Natsir, tegaklah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Di balik ketokohan M Natsir, Ketua Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama NKRI (1950-1951), di sana hadir Djuanda Kartawidjaja (1911-1963) yang menuntaskan 2/3 konsep Mosi Integral.

Sesungguhnya, Djuanda – insinyur pengairan lulusan THS (kini ITB) 1933 – bukan orang baru dalam pemerintahan yang mulai bergeser dari sistem presidensial ke arah parlementer dengan Syahrir sebagai perdana menteri pertama sejak November 1945.

Dimulai aktif di Paguyuban Pasundan lalu Muhammadiyah dan menjadi Direktur sekaligus guru AMS Muhammadiyah Jakarta pada 1934 – 1937, Djuanda menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Syahrir setelah memimpin Jawatan Kereta Api di Bandung (September 1945 sampai awal tahun 1946) yang sebelumnya pernah bekerja di Dinas Pengairan Jawa Barat semasa pra-kemerdekaan 1945.

Jabatan menteri yang diembannya tak pernah putus sejak November 1945 hingga Perdana Menteri ke 11 (1957-1959) sekaligus terakhir pada era demokrasi parlementer. Selama itu pula, Djuanda dikenal sebagai politikus tak berpartai politik.

Pada puncak karier politiknya (1957 – 1959), sejarah menempatkannya sebagai tokoh yang dipilih Bung Karno ketika Bung Hatta telah berada di luar pemerintahan sejak 1956.
Pilihan yang tak terduga dipersilangan konflik yang menajam antara kekuatan politik pasca-pemilu 1955 yang menghasilkan empat besar pemenang pemilu: PNI, Masyumi, NU dan PKI.

Selain konfigurasi politik yang dimulai sejak 1950 -1959 antara partai politik tersebut, juga konflik pun melanda Angkatan Perang/TNI khususnya Angkatan Darat baik internal maupun eksternal menghadapi kekuasaan parpol di parlemen.

Catatan aksi militer di depan Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952 tak bisa dihapus begitu saja dalam lukisan konflik kekuasaan antara politisi sipil dan kekuatan tentara yang kian kentara memasuki gelanggang politik.

Keberhasilan militer dalam pemadaman konflik separatis RMS dan ketidakpuasan daerah serta penumpasan PRRI/Permesta sampai gerakan militer DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, menaikkan kekuatan politik militer di tengah kemelut demokrasi parlementer pasca Pemilu 1955: DPR dan Badan Pembentuk UUD (Konstituante).

Kebutuhan akan keberadaan Badan Pembuat UUD Konstituante yang harus dipilih rakyat melalui pemilu, didorong oleh karena UUD 1945 telah tegas tak berlaku sejak 17 Agustus 1950. Sebenarnya keberlakuan UUD 1945 telah dipotong sejak November 1945 ketika kepala pemerintahan dan kepala negara dipisah.

Kepala Pemerintahan diserahkan kepada Syahrir sebagai Perdana Menteri, dikenal sebagai Kabinet Syahrir pertama. Kebutuhan kekuasaan parlementer yang kabinet bertanggung jawab kepada KNIP (kini DPR) disebabkan tuntutan kebutuhan perundingan internasional yang kurang menyukai Dwitunggal Soekarno – Hatta yang diduga sebagai kolaborator Jepang si pencundang Perang Dunia 2.

Disusul kemudian maklumat X November 1945 yang merestui kehadiran partai politik sebagai pilar pembentukan kekuasaan pemerintahan berdasar atas hukum yang demokratis. Dari sini lahir dan berkembang partai politik; berlanjut pengesahan UUD Sementara mulai 17 Agustus 1950.

Hal ini dimaksudkan untuk mengganti konstitusi kilat yang kelak perlu UUD yang lebih lengkap dan mampu menangkap gelombang zaman, sebagaimana diakui sendiri oleh Bung Karno sebagai Ketua PPKI dalam pengesahan UUD 1945 kala itu.

Empat bulan sebelum pemerintahan hasil pemilu DPR 1955 koalisi PNI, Masyumi dan NU tanpa PKI, dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Maret 1956- Maret 1957) terbentuk, mantan KSAD Kolonel Abdul Haris Nasution yang pernah diberhentikan karena Peristiwa 17 Oktober 1952, diangkat kembali oleh Bung Karno dan pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Suasana politik kian memanas, menyusul Bung Karno menghendaki agar kabinet mengikutsertakan PKI. Kabinet janga berkaki tiga, jadikan berkaki empat : PNI, Masyumi, NU dan PKI. Rupanya NU dan Masyumi bersikukuh menolak PKI, sementara PNI menunggu angin Bung Karno ke mana berembus.

Badan Konstituante tak kunjung final merumuskan Dasar Negara, meski 90% aturan dasar lainnya telah dirampungkan. Militer dan Bung Karno mulai habis kesabarannya, ketika perdebatan dasar negara kian memanas antara kubu Islam berhadapan dengan kubu Pancasila yang di situ PKI dan Murba ikut bergabung.

Voting pun dua kali tak satupun dari kedua kubu itu mencapai 2/3 jumlah suara yang disyaratkan untuk sahnya putusan dasar negara.

Di tengah penghapusan Uni Belanda 1956 dan keputusan pemerintah menasionalisasi perusahaan Belanda, tampak militer ikut cawe-cawe dengan alasan keamanan dan keterbatasan tenaga ahli. Militer mulai naik posisi tawar di depan Bung Karno pada 1958 pasca keberhasilan penumpasan pemberontakan daerah.

Terjadilah krisis kabinet Ali Sastroamidjojo/PNI – Idham Khalid/NU dan Moh Roem/Masyumi. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden/Kepala Negara Soekarno pada 8 April 1957. Berakhirlah kabinet parlementer yang berkaki tiga (tanpa PKI) sebagai kabinet kesepuluh semasa senja demokrasi parlementer ini. Berakhir juga kekuatan partai politik, sejalan dengan introdusir Konsepsi Presiden menuju Demokrasi Terpimpin yang didukung penuh oleh militer dengan Jalan Tengah-nya AH Nasution selaku KSAD.

Pada 9 April 1957 Bung Karno menunjuk Djuanda Kartawidjaja, politikus nonpartai politik yang terus menerus menjadi Menteri sejak November 1945 (pernah menjadi Menteri Perhubungan, Pekerjaan Umum, Pertahanan dan Keuangan) menjadi Perdana Menteri Zaken Kabinet disebut sebagai Kabinet Karya (9 April 1957- 6 Juli 1959). Ternyata kemudian inilah Kabinet terakhir dan terkubur bersama pembubaran Konstituante oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Begitu terpilih menjadi Perdana Menteri, Djuanda diserahi Bung Karno untuk membujuk para wakil Islam dalam Konstituante, agar kembali saja ke UUD 1945.

KH Masykur sebagai Ketua Fraksi Islam (Masyumi, NU , PSII dan Perti) di Konstituante, menyatakan setuju kembali ke UUD 1945, dengan syarat agar rumusan sila pertama Pancasila dikembalikan seutuhnya sebagaimana bunyinya dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Sementara, Djuanda menawarkan bahwa pelaksanaan hukum Islam telah diberikan pada rumusan bahwa Piagam Jakarta merupakan rangkaian konstitusional dan menjiwai UUD 1945.

Tawaran Djuanda diabaikan, kemudian tetap menempuh jalan voting: Kembali ke UUD 1945. Dua kali voting, ternyata antara yang ingin kembali ke UUD 1945 dan menolaknya tetap tak mencapai syarat 2/3 jumlah suara yang disyaratkan.

Menjawab kemandekan di Konstituante inilah, segeralah Bung Karno yang didukung militer yang pamor politiknya menanjak itu, memutuskan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959: Kembali ke UUD 1945 dan Membubarkan Konstituante.

Dibentuklah kemudian Kementerian dengan kekuasaan penuh pada Presiden Sukarno yang selain sebagai Kepala Negara juga Kepala Pemerintahan (pemerintahan presidensial). Dari demokrasi parlementer menjadi demokrasi terpimpin.

Mulai 1960 politik Indonesia kian kekiri, Manipol/Usdek (Manifesto Politik/UUD, Sosialisme, Demokrasi Ekonomi ) digaungkan dan pada 1960 itulah pula DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan, menyusul kemudian Masyumi dan PSI disuruh bubar.

Sejak Juli 1959, Djuanda Kartawijaya politisi tak berpartai, menjadi Menteri Pertama. Masuk pula Mulyadi Djojomartono dan Marzuki Yatim sebagai anggota Kabinet setelah keluar dari Masyumi. Kedua nama tersebut adalah politisi dari Organisasi Sosial Politik Muhammadiyah yang membedakan dengan organisasi politik yang diwakili PNI, Partai NU, PKI, Partai Kristen dan Partai Katholik serta lainnya.

Tak lama kemudian, pada 7 November 1963, ketika DN Aidit dan Nyoto masuk Kabinet sebagai menteri Ex officio (Menko/ Wakil Ketua MPRS DN Aidit dan Menteri Negara/wakil Ketua DPRGR Nyoto), Djuanda yang mengaku sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, meninggal dunia karena sakit jantung.

Kian Gila..! Perang Pemerintahan Trump Melawan Aktivis Pro-Palestina di Kampus-Kampus AS

JAKARTAMU.COM | Momodou Taal, seorang aktivis Inggris-Gambia dan mantan mahasiswa PhD di Universitas Cornell, mengumumkan pada hari Selasa melalui...

More Articles Like This