JAKARTAMU.COM | Setiap hari kita bangun, bekerja, mencari uang, menikmati hiburan, lalu tidur, mengulang siklus yang sama. Kita diajarkan bahwa inilah kehidupan yang normal—bekerja keras, mendapatkan uang, dan mengikuti sistem yang ada. Tapi pernahkah kita berpikir, siapa yang mengendalikan semua ini? Apakah kita benar-benar bebas menentukan jalan hidup, atau justru hidup dalam sistem yang dirancang agar segelintir orang tetap berkuasa sementara mayoritas tetap berada di bawah?
Dunia ini bukan bergerak secara alami. Ia berjalan berdasarkan aturan yang diciptakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Jika kita perhatikan, perubahan besar sedang terjadi.
The Great Reshuffling, atau perombakan besar-besaran di dunia kerja, sedang berlangsung. Kemajuan teknologi dan otomatisasi membuat manusia semakin tidak dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Karyawan digantikan oleh robot, sementara kita tetap diajarkan untuk mengejar pekerjaan yang perlahan menghilang.
Di saat yang sama, kita semakin terikat dalam perbudakan digital. Media sosial dan platform online memberi kita akses gratis ke berbagai konten, tetapi dengan satu harga yang tak terlihat: kita sendiri yang menjadi produknya. Data kita dikumpulkan, kebiasaan kita dipelajari, dan perhatian kita dijual kepada pengiklan. Dunia digital yang seharusnya memberi kebebasan, justru menjadi alat kontrol paling efektif.
Pendidikan, yang selalu disebut sebagai kunci kesuksesan, ternyata tak lebih dari sistem yang melatih kita menjadi pekerja, bukan inovator. Sistem pendidikan modern lebih mirip pabrik buruh dibandingkan tempat mencetak individu mandiri. Kita diajarkan bagaimana mengikuti perintah, bukan bagaimana menciptakan sesuatu yang baru. Sementara itu, mereka yang berada di puncak sistem tidak melalui jalur yang sama—mereka menciptakan aturan, sementara kita diajarkan untuk mengikutinya.
Bagaimana dengan kekayaan? Uang, yang selama ini kita kejar, sebenarnya hanyalah ilusi. Ia tidak berbasis nilai nyata, tetapi hanya kertas atau angka di layar yang ditentukan oleh kebijakan moneter segelintir orang.
Sementara itu, sumber daya alam—air, tanah, dan energi—yang jauh lebih berharga justru dimonopoli. Kita disibukkan dengan angka-angka dalam rekening, sementara kendali atas sumber daya sejati ada di tangan mereka yang memiliki kuasa.
Dunia ini juga penuh dengan distraksi. Hiburan, gosip selebriti, tren media sosial—semuanya dirancang agar kita tetap sibuk, agar kita tidak menyadari realita yang lebih besar. Ketika kita fokus pada hal-hal sepele, kita tidak punya waktu untuk mempertanyakan bagaimana dunia ini sebenarnya bekerja.
Sementara itu, tanah—aset paling berharga yang seharusnya bisa dimiliki oleh setiap orang—semakin sulit diakses. Harga properti melonjak, kepemilikan tanah terkonsentrasi pada segelintir pihak, dan generasi muda dipaksa hidup dalam sistem di mana mereka bekerja hanya untuk membayar tempat tinggal.
Yang lebih mengejutkan, kemiskinan bukanlah masalah yang ingin diatasi oleh sistem ini—melainkan sesuatu yang sengaja dipertahankan. Negara membutuhkan orang miskin agar tenaga kerja murah selalu tersedia. Tanpa mereka yang berjuang untuk bertahan hidup, sistem ini tidak bisa berjalan.
Jadi, apakah ini hanya teori konspirasi? Atau kenyataan yang sengaja ditutupi? Kita diajarkan untuk percaya bahwa kita memiliki kendali atas hidup kita, tetapi jika melihat pola yang terjadi, jelas bahwa kita hanya bagian dari roda besar yang terus berputar.
Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kita akan terus menjadi korban dari sistem ini, atau mulai menyadari permainan yang sedang berlangsung? (Dwi Taufan Hidayat)