Sabtu, April 12, 2025
No menu items!

Etika Prioritas: Cermin Kepedulian dalam Ruang Publik

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dalam denyut keseharian kota-kota besar, kendaraan umum seperti KRL, Transjakarta, MRT, dan sejenisnya telah menjadi tulang punggung mobilitas jutaan warga. Di dalam ruang-ruang gerbong itu, ratusan tubuh berdesakan, duduk dan berdiri, dalam diam atau keluh, semua saling berbagi tempat menuju tujuan masing-masing. Namun dalam keterbatasan ruang itulah sesungguhnya karakter dan watak sosial masyarakat dipertontonkan secara gamblang. Di sanalah kesadaran kita terhadap etika publik diuji—sebuah ujian yang sederhana tapi sarat makna: apakah kita bisa menempatkan orang lain yang lebih membutuhkan di atas kenyamanan pribadi kita sendiri?

Salah satu aspek penting dari etika di ruang transportasi umum adalah penggunaan kursi prioritas. Kursi ini bukan sekadar tempat duduk, melainkan bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap kelompok rentan: ibu hamil, lanjut usia, penyandang disabilitas, serta ibu dengan anak kecil. Mereka bukan sekadar penumpang, melainkan sosok yang secara fisik lebih rentan, lebih mudah lelah, dan lebih berisiko bila berdiri terlalu lama dalam kereta yang melaju atau bus yang terhuyung-huyung. Di situlah nilai kemanusiaan dan rasa empati kita semestinya bekerja.

Namun, tidak sedikit kita temui penumpang yang duduk di kursi prioritas tanpa merasa perlu mengalah saat kelompok rentan masuk ke gerbong. Mereka sibuk dengan ponsel, memasang headset, pura-pura tertidur, atau bahkan dengan santai menatap ke arah lain untuk menghindari tatapan langsung. Mereka lupa bahwa kenyamanan yang mereka nikmati berasal dari ketidaktahuan pura-pura yang disengaja, dan dari mengabaikan hak orang lain. Ini bukan hanya soal tempat duduk—ini soal kebekuan nurani.

Etika bukan sesuatu yang datang karena peraturan semata. Ia lahir dari hati yang peka, dari jiwa yang memahami bahwa hidup bersama memerlukan sikap saling peduli. Tidak ada satu pun larangan keras dalam undang-undang yang bisa menjangkau hati manusia yang telah menjadi beku oleh ego. Tapi ketika kita berbicara tentang etika, yang kita sentuh adalah ranah paling dalam dari kesadaran sosial: maukah kita, saat diberi kemudahan, memberikannya pada yang lebih membutuhkan?

Mengabaikan kursi prioritas untuk ibu hamil, misalnya, bukan hanya bentuk ketidaksopanan, tetapi juga pencerminan langsung dari rusaknya sensitivitas sosial. Seorang ibu yang mengandung membawa kehidupan dalam dirinya. Ia berdiri dengan beban fisik, emosi, dan tanggung jawab besar. Setiap hentakan kereta atau gerakan mendadak bisa menjadi risiko yang tak sepele. Ketika seseorang yang sehat dan bugar duduk santai di kursi prioritas dan enggan bangkit, sesungguhnya ia tengah menunjukkan bahwa dirinya belum dewasa dalam bertanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat.

Teguran yang muncul dalam berbagai bentuk—baik halus maupun tajam—sejatinya bukan ditujukan untuk mempermalukan, tetapi untuk membangunkan. Ruang publik tidak bisa terus-menerus menjadi tempat tidur bagi nurani yang tertidur. Dalam masyarakat yang beradab, solidaritas bukan sekadar slogan, melainkan kebiasaan harian. Kepedulian bukanlah kemewahan, tetapi kewajiban moral.

Bayangkan bila kita sendiri, atau ibu kita, atau pasangan kita yang tengah mengandung, harus berdiri sepanjang perjalanan karena orang lain memilih mengabaikan fungsi kursi prioritas. Maka dari itu, tidak ada alasan yang dapat membenarkan pengabaian terhadap hak kelompok rentan di dalam kendaraan umum. Tidak ada pembenaran atas keengganan mengalah demi mereka yang lemah.

Ruang publik adalah refleksi dari akhlak kolektif. Dan cara kita memperlakukan mereka yang paling lemah adalah cara kita memperlakukan diri kita sendiri dalam cermin peradaban. Mari jadikan kursi prioritas bukan hanya fasilitas, tetapi lambang dari sebuah masyarakat yang adil, peka, dan berperikemanusiaan. Jangan menunggu ditegur. Jangan menunggu disindir. Bangkitlah, berikan tempatmu, dan mulailah membiasakan hati untuk peduli.

Karena etika bukan diajarkan dengan papan peringatan, tetapi ditumbuhkan dalam kebiasaan kecil yang menjadi budaya besar.

Tragedi Jalan Rusak di Desa Sana Laok: Nyawa Melayang karena Infrastruktur Buruk

JAKARTAMU.COM -- Desa Sana Laok, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, tengah diliputi kesedihan mendalam setelah seorang warga meninggal tragis di...
spot_img

More Articles Like This