PEMBICARAAN di sekitar Istana Kraton Demak masih berlangsung antara Sunan Kalijaga dengan beberapa musafir.
Nampak Wiranggaleng dan anaknya yang bernama Gilang, urusan intelijen dari Kadipaten Tuban yang hadir, mulai terlibat dalam pembicaraan sekitar strategi Sultan Trenggono yang enggan melakukan ekspedisi militer ke Malaka seperti yang pernah dilakukan kakaknya, Dipati Unus.
Anggoro Hayatullah: Ki Aji Sunan Kalijaga, mohon bisa dijelaskan soal penjaga kali atau sungai… itu.
Sunan Kalijaga: Oh…ya Anggoro, begini. Suatu ketika, saya melihat banyak orang di desa-desa pedalaman masih menyembah kali. Memberikan sesaji makanan bahkan membuang kepala kerbau ke kali sebagai pernyataan menyembah kali yang dianggap mempunyai kekuatan ilahiyah.
Menyembah kali dan mempercayai kali di bawah kekuasaan dewa tertentu. Terhadap perilaku tersebut, saya tak bosan-bosannya mendakwahi mereka. Baik kepada penduduk yang tinggal di kawasan sepanjang Kali Dengkeng anak sungai Bengawan Solo yakni Gunung Kidul, Klaten dan Sukoharjo di lereng pegunungan Sewu sampai menghilir hingga sepanjang Bengawan Solo di pedalaman Bojonegoro dan sekitarnya.
Itulah sebabnya, mengapa kemudian orang menyebutku Ki Aji Kalijaga. Kepada mereka saya tegaskan bahwa kali atau sungai itu bukan sesembahan, sungai itu makhluk. Sesama alam yang manusia justru harus menjaga dan merawatnya. Bukan menyembahnya
(Wiranggaleng, Telik sandi dari Tuban manggut-manggut, menganggukkan kepala sambil mengingatnya kembali. Inilah, rupanya Sunan Kalijaga yang pernah ia lihat naik ke Masjid Demak untuk salat Jumat dan mengikuti Rapat Majelis Kerajaan Islam Demak…)
Anggoro Hayatullah: Terima kasih Ki Aji.
Nah, teman-teman warga kawula Demak, maka dipastikan bahwa Islam dan Al Qur’an yang dari Allah Subhanahu wa ta’ala tak bisa dibandingkan dengan Nitisastra di daun-daun lontar itu.
Kini, bagaimana membela Islam dan kaum muslimin yang dibenci, diburu-buru dan dikejar-kejar pasukan Portugis yang mengarungi Samudera Hindia dengan kapal-kapal dan armada lautnya sampai merebut Gowa di India, Malaka dari Selat Malaka, di Meulaboh Aceh yang dikawatirkan mengancam Jawa.
Portugis pasti telah mengagendakan merebut Banten, Sunda Kelapa, pasti suatu saat sampai Demak dan Jepara.
Maka tidak ada lagi jalan kecuali melawan Portugis yang kafir itu, dengan berlandaskan Islam.
Gilang: Bagaimana mungkin kita bisa menghadang Portugis ?
Anggoro Hayatullah: Maka dari itu, kita perlu kapal untuk melindungi Nusantara, mendakwahkan Islam serta mengusir Portugis.
Kapal-kapal kita dan Islam akan berlayar bersama-sama, tidak saling menunggu.
Kalau Islam tak berkembang, akan tak seimbang kekuatannya. Sedangkan kapal-kapal dan armada kita berguna untuk menumpas Portugis yang jelas memusuhi Islam.
Kini Portugis dipimpin oleh Vasco da Gama dengan panji-panji Ius Patronatus yang dikelurkan oleh Tahta Suci pada 4 Mei 1493 telah memasuki Gowa di India, Malabar dan 1511 telah merampas Malaka.
Kita akan mengusirnya atau hanya akan menunggu?
Gilang: Ah…..mana mungkin (sambil tertawa sinis).
Apakah kami semua dari Tuban, Semarang dan Blambangan yang didatangkan ke Demak ini harus masuk Islam ?
Anggoro Hayatullah: Tidak, sama sekali tidak! Tidak ada yang memaksa kalian masuk Islam.
Adakah para mubalig, dai, pembicara dan di desa-desa memaksa kalian mempercayai Islam dan harus mengikutinya?
Apakah kalian yang tetap menyembah Budha harus dikejar-kejar, dibunuh atas nama Islam? Oh,…tidak begitu. Jangan kawatir. Islam itu Rahmat bagi semua alam dan seisinya.
Namun, ingat…ya pelajarilah Islam. Agama yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad bagi kami adalah yang terbaik dan semoga, Isya’ Allah juga bagi kalian.
Islam akan mengalahkan yang kurang atau tidak baikdan mempertahankan lautan dan daratan dari penjajahan Portugis yang kafir dan imperialis itu.
Wiranggaleng: Saudaraku, mohon izin saya ingin ikut bicara (sambil menghormat membetulkan ikat kepalanya).
Pantaslah maka Adipati Unus , Sultan baru Kerajaan Islam Demak ini pernah mempersiapkan armada laut yang kuat dan besar untuk menyerang Malakadan melindungi Islam. Beliau tidak memanggil kejayaan masa lampau, seperti Majapahit ..misalnya.
Aku melihat sendiri dan pernah meyakinibahwa Adipati Unus akan membangun kejayaan dan kebesaran sendiri, bukan membangunkan Gajah Mada.
Tapi, sayang sekali Adipati Unus telah meninggalkan kita selamanya.
(Semua yang hadir menundukkan kepala dan menahan nafas…sedih rasanya , kemudian Wiranggaleng melanjutkan kalimatnya).
Kata orang-orang Demak, armada laut sedang dipersiapkan kembali dan sungguh-sungguh menjalin persekutuan dengan Kerajaan Islam Aceh di Samudera Pasai, Bugis dan Demak sendiri termasuk Tuban.
Besok aku akan meneruskan perjalanan ke barat, ke Banten dan Sunda Kelapa yang katanya menolak Islamisasi dari dan oleh Demak.
(Kemudian berpamit diri. Wiranggaleng berjalan ke dermaga, laut di depannya mengirim deburan ombak di malam bulan purnama. Sebiru langit, sebiru juga laut yang dipandanginya. Angi berembus lembut, mengelus dada bidang Wiranggaleng – Panglima Pasukan Perang Tuban….Langkah kakinya menuju kapal Tubanyang bersandar di Jepara sebulan ini. Wiranggaleng berhenti sejenak di sebelah musholla tempat orang Islam bersembahyang lima waktu. Selintas terdengar pengajian yang dibawakan mubaliih anak buah Anggoro Hayatullah.)
…………………Wiranggaleng memandangi bulan purnama, menerangi hamparan pantai Jepara ,…aduhai tampilan gambar Idayu, istrinya …, juga membayang Muhammad Firman alia Pada yang semula beragama Budha kini menjadi orang Islam.
Tiba-tiba muncul gambar Adipati Tuban Teja Wilatikta, ayah dari Ki Aji Kalijaga yang kini adalah ulama Kerajaan Islam Demak yang juga anggota Majelis Kerajaan Islam Demak.