ADU pendapat, pertengkaran mulai mendengung di seputar Istana Demak, kediaman resmi Sultan Trenggono (1521-1546). Isu sentralnya adalah kebijakan Sultan Trenggono yang tidak sama dengan kakaknya, Adipati Yunus, dalam menghadapi Portugis.
Unus berorientasi ke laut, sedangkan Trenggono lebih menyukai darat. Unus menyerbu Portugis di Malaka, sedangkan Trenggono ingin menunggu Portugis di daratan Jawa.
Kurun singkat antara 1518-1521, Raja Kasultanan Demak dijabat Adipati Yunus (sering disebut Dipati Unus). Raja ini adalah kakak lelaki Trenggono yang kelak menggantikannya. Semula, Dipati Unus adalah Panglima Angkatan Laut Demak sejak Sultan Fatah, dengan markasnya di Pelabuhan Jepara.
Baca juga: Fatahillah Sang Pemenang (1): Dialog Gusti Ratu Aisah dengan Sultan Trenggono
Pada 1513, Dipati Unus memimpin pasukan terdiri dari seratus kapal yang memuat lima ribu pasukan dari Jepara, Tuban dan Palembang bersekutu dengan laskar dari Samudera Pasai Aceh menyerang Malaka yang dikuasai oleh Portugis sejak 1511.
Ekspedisi militer itu gagal, Dipati Unus terluka namun membawa 300 tawanan Portugis yang bisa membuat kapal dan meriam. Pasca-Portugis menyerbu ke Malaka, Dipati Unus menjadi Sultan Demak berkedudukan di Jepara (1518-1521).
Suksesi dari Dipati Unus ke Trenggono membawa dampak perubahan kebijakan, dari berorientasi ke laut menjadi ke pedalaman. Itulah perluasan darat ke darat dengan titik sasaran Banten, Pakuan, Tuban sampai Blambangan sebagai penaklukan dan penyebaran Islam.
Untuk itu, Sultan Trenggono mengandalkan pasukan berkuda dengan Panglimanya Fatahillah yang beristrikan adik perempuan Trenggono. Ekspansi melumpuhkan Tuban, Madiun, kemudian Malang, Surabaya. Menyusul Pasuruan jatuh, namun terhenti di Panarukan pada 1546, karena Sultan Trenggono meninggal dunia dalam ekspedisi militer tersebut.
Polemik yang terjadi di bawah ini, satu dan lain hal karena perubahan dari orientasi kelautan menjadi kedaratan atau pedalaman. Dari maritim menjadi agraris.
Berikut ini, cuplikan polemik antara beberapa eksponen penegak Kasultanan Demak terdiri dari unsur intelijen, sebagian Walisongo dan para intelektual kasultanan.
Diskursus itu menyangkut strategi menghadapi Portugis di depan pintu Pulau Jawa yang naga-naganya mulai menjalin diplomasi dengan Banten dan Pakuan.
Aji Yusuf: Mendirika kerajaan itu mudah. Cari saja tempat di pedalaman, kalau takut ancaman dari laut
Siapapun yang takut kepada Hiu, tak akan menyentuh laut. Dan siapapun yang menentang laut, dia tak akan mendapatkan hiu. Saya yakin, Portugis tak akan ke pedalaman. Namun akan menyukai pesisir yang merupakan pintu masuk ekspansi ke pedalaman.
Anggoro Hayatullah: Apakah kalian lupa dengan pernyataan Dipati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Pangeran yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri untuk menyeberang ke Utara, melampaui Laut Jawa.
Kemudian Dipati Unus wafat karena luka peperangan di Malaka, kemudian digantikan Trenggono yang sesumbar: Biarlah Portugis yang mengaku lelaki Jagadraya; Biarkan Portugis yang kafir itu ke Demak, mereka akan menemui kuburannya sendiri.
Aji Yusuf: Demak sudah menjawabnya. Demak telah mengangkat Dipati Unus menjadi Menteri Mancanegara. Ketahuilah, bila kelak Portugis tak datang ke Jepara untuk menantang Demak, maka lihatlah dari Jepara akan membawa Demak berangkat ke Maluku untuk menghancurkan Portugis.
Galangan kapal telah dibuat bertambah di Jepara, membesar. Jepara pernah diperhadapkan ke Malaka. Bukan begitu Babah Lim Mo Han?
(….. rekan keturunan China Semarang ini sejak jauh hari telah menentang pendudukan Portugis di Malaka dan diinfokan akan menguasai Jawa pula …..).
Babah Lim Mo Han: Betul….betul sekali Kawa Aji Yusuf. Ternyata Portugis telah melakukan perampasan dan kekacauan di Maluku. Suatu saat Portugis akan mengacak-acak Tanah Jawa, termasuk kotaku Semarang.
Sambil mendehem dan menahan nafas, ah….
Sayang Dipati Unus telah wafat, dan lebih disayangkan Trenggono adiknya Dipati Unus ini yang menggantikannya yang tidak peduli terhadap okupasi Portugis atas bumi Malaka.
Tak ada kehendak politik Trenggono untuk menggempur Malaka. Kenapa hanya ingin menaklukkan pantai Utara Jawa dan menyebarkan Islam ke pedalaman
Saudaraku Aji Yusuf dan teman-teman semua, nafsu Trenggono yang ingin menaklukkan Jawa saja mulai terdengar di Tuban. Jangan-jangan intelijen Tuban telah merasuki Demak sekarang ini.
( ….Wiranggaleng urusan khusus Adipati Teja Wilwatikta, penguasa Tuban, berada di antara mereka yang terlibat diskusi itu ..).
Lihatlah, Tuban itu masih setengah-setengah menerima Islam, separuhnya masih berpegang setia kepada Budha, meski salah satu putranya Mas Said atau Sunan Kalijaga telah memeluk Islam dan menjadi musafir, pendakwah yang tangguh.
( …ternyata Sunan Kalijaga baru tiba dan mampir dalam diskusi itu ..)
Anggoro Hayatullah : Ki Sunan Kalijaga, mengapa gelar Raden dibuang Ki Sunan ?
Sunan Kalijaga: Anggoro anakku, saya telah membuang gelar Raden dari namaku : Raden Said, putra Adipati Wilwatikta penguasa Kadipaten Tuban.
Sebab, ….hal itu tak mengandung sesuatu di dalamnya di mata Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam Islam hanya perbuatan orang-orang terhadap sesama dan kepada Sang Maha Esa dan Maha Kuasa yang mempunyai nilai.
Kebenaran Islam harus diyakinkan, terutama melalui iman, ilmu dan amal perbuatan yang baik kepada sesama manusia, akan semesta. Intinya jalanilah perintah Tuhan dan menjauhi larangan-NYA. (Bersambung)