PERTEMUAN rahasia Babah Liem Mo Han dan Gusti Ratu Aisah, sebelum diakhiri tengah malam, disampaikan keluhan Wiranggaleng kepada Babah Liem untuk diteruskan kepada Gusti Ratu Aisah.
Babah Liem Mo Han: Wiranggaleng memberikan informasi, bahwa apapun yang terjadi, apapun yang mau dikatakan itu pengkhianatan atau apapun, namun Portugis akhirnya kalah juga.
Si imperialis kafir dan sekutunya terhuyung-huyung menuju Timur, bahkan ke Timur lagi menghadapi Ternate dan Tidore, Portugis rupanya berat sekali. Sementara pasukan ku – demikian keluh Wiranggaleng – kian tak terurus.
Aku harus kembali ke Tuban. Saya menyimpan janji, suatu saat kelak akan kembali ke Malaka untuk menghancurkan Portugis atau di manapun mereka menjamah tanah Nusantara.
( Kini Wiranggaleng bukan lagi sebagai panglima Angkatan Perang Tuban. Ditunjuk oleh Adipati Tuban sebagai telik sandi / Intel yang mondar mandir Tuban- Demak – Jepara)
Gusti Ratu Aisah : Lho, apa kesalahannya Babah?
Babah Liem Mo Han : Kesalahannya adalah hanya karena Wiranggaleng itu anak desa.
Gusti Ratu Aisah : Begini saja, Babah…..berikan saja saja padaku, Senopati Wiranggaleng itu.
Saya besok akan ke Demak. Hati -hati dan jangan lupa pesanku.
Malam telah larut, pertemuan diakhiri….
***
Keesokan harinya, Gusti Ratu melakukan perjalanan kunjungan dari Jepara ke Demak .
Di gapura Alun-alun Demak, Gusti Ratu Aisah disambut meriah dan berkesan berlebihan.
Sultan Trenggono mengikutinya dari belakang dan berhenti di Taman Istana. Dilanjutkan tegur sapa ibu dan anak…diikuti para keluarga Istana Demak.
Gusti Ratu Aisah : Trenggono anakku, aku tahu bahwa sejak kecil kamu memang berkepala batu. Tegas dan kukuh dalam berpendirian.
Kepala batu tidak apa-apa, jika itu semasa kanak-kanak. Kini, Trenggono anakku yang gagah perwira, kamu bukan lagi anak kecil. Kini, kamu adalah seorang sultan.
Kenapa Majelis Kerajaan, para ulama wali negara tak kamu dengarkan lagi. Ibu-mu…pun tidak juga.
Mestinya kamu bertanggungjawab atas kematian abangmu. Saya juga mendengar, kamu tertekan oleh kehendak pasukan Angkatan Darat Kavaleri yang justru kamu perbedar, kamu timang- timang. Kamu anak emaskan.
Sultan Trenggono : Maaf, bundaku…..saya memang kepala batu.
Tidak benar, Angkatan Darat baik infanteri, kavaleri maupun artileri menekan saya.
Saya menyadari dan tidak akan melupakan ajaran keprajuritan: bahwa pasukan yang besar dan kuat tapi tidak berperang, tidak punya musuh…justru akan menjadi penyakit negara.
Prajurit itu harus berperang.
Gusti Ratu Aisah : Jadi kamu akan segera membuat perang, Trenggono?
Jika kamu tak mampu menjawabnya sekarang, tak apa-apa. Itu hak dan wewenang seorang raja, seorang sultan.
Satu pesanku, hancurkan Portugis di Malaka.
Ternyata, Sultan Trenggono masih ragu-ragu, antara lain karena kawatir akan perpecahan antara pasukan Angkatan Darat berkuda di Demak dan Armada Laut yang bermarkas di Jepara.
Trenggono menghadapi simalakama, terpejpit diantara dua kepentingan yang mencekam: Portugis yang bengis dan berbalas dendam kepada Demak dan pasukan kuda yang kelak melakukan pengkhianatan.
Pertemuan yang ditutup bakdal Ashar.
Ketika malam tiba, begitu Gusti Ratu Aisah telah tiba kembali di Jepara, Sultan Trenggono terlarut pada keraguanyang mendalam.
Ia kadang menyepi di Taman Istana, di luar kota Demak , mondar-mandir seperti orang bodoh.
Tibalah suatu saat , tiba sepucuk surat dalam bahasa Melayu bertuliskan dalam huruf Arab. Pengirimnya adalah mantan Komandan Angkatan Perang Samudera Pasai melawan Portugis.
Sebenarnya, surat yang diposkan dari Mekkah Saudi Arabia dengan pengirim Fatahillah itu sebenarnya dialamatkan kepada Adipati Unus yang tidak si pengirim ketahui bahwa si alamat yakni Dipati Unus telah wafat.
Isi suratnya adalah bahwa Fatahillah bersedua membantu mengusir Portugis.
Sultan Trenggono membalasnya, yakni setuju dan mengundang Fatahillah ke Demak. (Bersambung)