PORTUGIS hampir sepuluh tahun menaklukkan Malaka. Kontrol perdagangan rempah-rempah dari Nusantara mulai dicengkeram Portugis selama sepuluh tahun ini, sejak 1511.
Sementara Kerajaan Islam Demak sedang berduka dengan wafatnya Adipati Unus, Panglima Angkatan Laut Jepara – sekaligus Sultan Demak yang hanya dua tahun menggantikan Sultan Raden Fatah. Baiklah adik Adipati Unus, Trenggono menjadi Sultan Demak.
Kegusaran melanda Demak, paling tidak terungkap dalam dialog Sultan Demak Trenggono dengan Ibundanya yakni Gusti Ratu Aisah, isteri almarhum Raden Patah yang juga ibunda Pati Unus almarhum.
(Di Istana Kasultanan Demak pada suatu siang …)
Gusti Ratu Aisah Anakku, Sultan Trenggono…..bukan hanya tanah yang diserahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Seluruh alam semesta, kecuali Allah sendiri, tanah Jawa ini kecil, namun lautnya luas.
Barang siapa kehilangan air, dia akan kehilangan tanah. Barang siapa kehilangan laut, dia kehilangan darat. Ingatlah, ini yang mengucapkan kakakmu: Adipati Unus.
Sultan Trenggono: Ibu dan Kangmas Dipati Unus tidak salah. Namun, kita mestinya tidak lupa, bahwa kita manusia hidup dan mati di atas tanah yang dikaruniakan Allah.
Maka dari itu, tanah ini di dalam genggaman tak akan bakal ada bahayanya.
Tak akan ada yang mengancam kita akan membelanya, karena modal pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat sesuatu
Gusti Ratu Aisah Tapi, anakku….
Sultan Trenggono yang perkasa , apakah kamu akan menutup mata terhadap Malaka yang telah dikuasai Portugis? Kemudian menyusul Sunda Kelapa yang akan dan telah dikuasai Portugis? Gilirannya kemudian Tuban dan Blambangan.
Sultan Trenggono: Pada suatu ketika tak lama lagi, pasukan kuda Demak akan mengepulkan debu di seluruh Tanah Jawa. Bila debunya jatuh ke bumi, …ingatlah tak akan ada lagi tapak orang Portugis. Tampak juga lapak-lapaknya di Tuban, Blambangan serta Pajajaran akan musnah lenyap tertutup oleh debu pasukan kuda Demak.
Betapa kuatnya Blambangan dan Pajajaran serta Tuban? Tanpa kuda mereka akan hanya tumpukan bangkai.
Siapa yang tak percaya jangan terburu mati. Saksikan Trenggono dan Demak dengan sumpahnya ini.
Gusti Ratu Aisah : Ternyata, …tidak percuma wanita ditakdirkan melahirkan anak.
Tapi, memang banyak yang merasa percuma mempunyai ibu.
Sultan Trenggono: Tidak percuma, seorang anak mempunyai ayah. Almarhum ayahanda, Sultan Fatah-pun tak percuma menyebarkan musafir ke timur, barat, utara dan selatan.
Setiap musafir mendatangkan doa dan seratus hati yang rela untuk kejayaan Kasultanan Islam Demak. Siapa yang mengaku belum pernah mendengar nama dan kebesaran Demak di tanah Jawa. Mereka tuli!!
Sungguh bodoh pikiran lama yang ingin menguasai Jawa dengan kapal. Jalan laut bisa kita tunda dulu untuk menaklukkan Jawa. Langkahi dengan Kudamu!!
Sekali langkah, Tuban akan tumbang. Dua langkah Blambangan pecah. Langkah tiga kali Banten dan Pakuan akan terbelah dan Sunda Kelapa akan menjadi milik kita.
(Dialog setengah resmi terhenti, ketika adzan Ashar berkumandang dari Masjid Demak….sementara sindiran dan ketidakpercayaan terhadap Demak mulai membanjiri ibukota Kasultanan Demak ini. Muncullah percakapan yang mencemoohkan Sultan Trenggono mulai terdengar di masjid istana, di beberapa kadipaten, misalnya Jepara, Blora, Pati).
Para musafir di mancanegara, pembicara Budha sampai para da’i yang giat memperkenalkan Islam di desa-desa Demak dan sekitarnya menemukan perbantahan yang saling mengklaim paling benar.
Juga rakyat biasa di pasar, sawah dan pesisir ikutan bertengkar, beradu pendapat.
( Bersambung )