MENJELANG Hari Raya Idulfitri, ada sebuah fenomena yang selalu muncul di Indonesia, yaitu jasa penukaran uang baru. Tradisi ini berkembang seiring dengan kebiasaan masyarakat yang memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) dalam bentuk uang baru kepada sanak saudara, terutama anak-anak. Seiring waktu, fenomena ini menjadi peluang bisnis musiman yang dimanfaatkan oleh komunitas tertentu, khususnya menjelang Lebaran.
Di DKI Jakarta, jasa tukar uang baru banyak dijalankan oleh para inang-inang Batak, yaitu sebutan untuk ibu-ibu dalam bahasa Batak. Para inang-inang ini hadir di berbagai lokasi strategis untuk menawarkan jasa penukaran uang, yang semakin populer setiap tahunnya.
Namun, pada tahun 2025, fenomena ini tampak lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pemantauan pada Senin, 24 Maret 2025, di parkiran Pasar Pagi Rawamangun, Jakarta Timur, biasanya sudah banyak inang-inang Batak yang menjajakan uang baru. Namun, tahun ini hanya terlihat tiga orang yang membuka lapak, jauh lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai sepuluh orang sejak pukul 08.00 pagi.
Mungkin saja hal itu adalah efek dari layanan penukaran uang baru Bank Indonesia (BI) melalui aplikasi Pintar BI. Aplikasi ini memungkinkan masyarakat memesan uang baru secara online tanpa harus antre lama di bank.
Tetapi sebagian masyarakat mengeluhkan kendala teknis yang mereka rasakan pada aplikasi tersebut. Ade Rani, warga Purwodadi mengungkapkan Pintar BI sering mengalami error sehingga ia kesulitan untuk menukar uang. Hal serupa juga dialami oleh Nurrahman, seorang teknisi di perusahaan swasta, yang mengaku belum pernah berhasil menggunakan aplikasi tersebut sejak pertama kali diluncurkan.
Lalu apa yang membuat jasa penukaran uang langsung oleh masyarakat tahun ini terasa lebih sepi? Entahlah, yang pasti penukaran uang baru tetap menjadi bagian dari tradisi menjelang Lebaran di Indonesia.
Hukum Islam tentang Jual Beli Uang
Bagaimana hukum menukarkan uang dalam Islam? Terdapat dua pendapat utama hukum penukaran uang. Pendapat pertama misalnya, disampaikan Arin Setyowati, dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya. Jika penukaran uang dilakukan tanpa ada selisih nilai, hukumnya boleh.
Namun jika ada perbedaan jumlah antara uang yang diberikan dan yang diterima, transaksi tersebut termasuk riba dan hukumnya haram. Sebagai contoh, jika seseorang menukar uang Rp1.000.000 dengan pecahan yang sama senilai Rp1.000.000, hal itu diperbolehkan. Sebaliknya jika yang diterima hanya Rp970.000, hal ini dianggap riba.
Pendapat kedua disampaikan Alhafiz Kurniawan, wakil sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU). Menurut dia, jika yang menjadi objek transaksi adalah uang itu sendiri, tambahan biaya termasuk riba.
Namun jika yang diperjualbelikan adalah jasa, maka hukumnya mubah (diperbolehkan) karena masuk dalam kategori ijarah (sewa jasa). Oleh karena itu, jika harus menggunakan jasa penukaran uang, sebaiknya diniatkan sebagai akad ijarah agar tidak termasuk riba. (*)