Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Forza Gamawijaya (1): Langkah Pertama Sang Senopati

Cerita bersambung karya Dwi Taufan Hidayat terbaru ini berlatar sejarah Perang Diponegoro. Pada episode 1 ini, menceritakan kisah Forza Gamawijaya, putra seorang petani garam, bergabung dalam pasukan Diponegoro. Ia digembleng Tumenggung Jayaraga sampai menjadi pemuda perkasa.

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

LANGIT jingga terbentang di atas Urut Sewu, garis pantai selatan yang memanjang dengan deburan ombak tak pernah henti. Laut selatan seolah berbisik, membawa kisah-kisah lama tentang para leluhur yang gagah berani melawan gelombang dan penjajah. Di kejauhan, sekumpulan bocah berlarian di atas pasir hitam, bermain kejar-kejaran dengan angin laut yang kencang. Salah seorang di antara mereka, bocah lelaki bertubuh kekar dengan mata tajam, berlari lebih cepat dari yang lain, seperti hendak menaklukkan batas cakrawala. Dialah Gamawijaya, anak petani garam yang kelak menjadi legenda.

Sejak kecil, Gamawijaya berbeda dari anak-anak lain di desanya. Ia tak sekadar bermain, tetapi selalu mencari tantangan. Di usia tujuh tahun, ia sudah bisa berenang melawan arus sungai yang deras. Di usia sepuluh, ia mampu memanjat pohon kelapa tertinggi dalam sekejap. Ketika teman-temannya sibuk dengan permainan anak-anak, ia lebih senang mendengarkan kisah para leluhur yang berperang melawan penjajah.

Ayahnya, seorang lelaki keras bernama Ki Wiryodirjo, selalu berkata, “Seorang lelaki harus setangguh batu karang, tak boleh mudah runtuh dihantam gelombang.” Kata-kata itu selalu terngiang di benak Gamawijaya, terutama ketika ia mulai menyadari ketidakadilan yang merajalela di tanah kelahirannya.

Namun, kehidupan sederhana itu berubah ketika pasukan Pangeran Diponegoro mulai bergerak melawan Belanda. Tahun 1825 menjadi titik balik bagi tanah Jawa. Desa-desa yang dulu damai kini dipenuhi laskar-laskar yang bersumpah menumpas penjajah. Urut Sewu yang damai menjadi saksi bisu iring-iringan prajurit yang menuju medan tempur. Gamawijaya, yang saat itu beranjak dewasa, terpanggil untuk ikut serta.

Keputusan itu tidak mudah. Ibunya, Nyai Wiryodirjo, menangis ketika ia menyampaikan niatnya.

“Nak, kau anak sulung. Tanpa kau, siapa yang akan menjaga keluarga ini?”

Gamawijaya menggenggam tangan ibunya, menatapnya dengan penuh keyakinan.

“Bu, tanah ini butuh perlindungan. Jika kita terus diam, mereka akan mengambil semuanya. Aku tak bisa tinggal diam.”

Ki Wiryodirjo, meski berat hati, mengangguk.

“Pergilah, Wija. Jadilah lelaki sejati. Tapi ingat, perang bukan sekadar bertarung. Kau harus bijak memilih jalan.”

Dengan restu orang tuanya, Gamawijaya meninggalkan desanya dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Pelatihan di Medan Tempur

Di bawah bimbingan seorang panglima tempur bernama Tumenggung Jayaraga, Gamawijaya ditempa menjadi prajurit sejati. Ia belajar seni bertarung dengan tangan kosong, menggunakan keris, dan memainkan tombak. Tapi lebih dari itu, ia juga diajari strategi perang gerilya, bagaimana bertahan hidup di hutan, bagaimana membaca pergerakan musuh.

Pertemuan pertama mereka begitu berkesan.

“Apa yang kau cari dalam perang ini, anak muda?” tanya Tumenggung Jayaraga dengan sorot mata tajam.

“Kebebasan, Kanjeng Tumenggung,” jawab Gamawijaya tanpa ragu.

Sang Tumenggung tertawa kecil.

“Kebebasan tidak diberikan, Wija. Ia harus direbut. Dan untuk merebutnya, kau harus tahu harga yang harus dibayar.”

Hari-hari berlalu dalam kerasnya latihan. Gamawijaya harus bertarung melawan prajurit yang lebih berpengalaman, harus berlari membawa beban berat, harus menahan lapar berhari-hari di tengah hutan. Namun ia tak pernah mengeluh. Dalam dirinya, ada tekad baja untuk menjadi lebih kuat.

Tak butuh waktu lama baginya untuk dikenal sebagai salah satu prajurit muda paling berbakat. Dalam setiap pertempuran, ia selalu berada di garis depan, menebas musuh dengan keberanian luar biasa.

Namun, perang bukan hanya tentang kemenangan. Ia juga tentang kehilangan.

Kekalahan Pertama dan Sumpah Gamawijaya

Suatu malam, ketika pasukan Diponegoro tengah bertahan di sebuah perbukitan, Belanda menyerang dengan pasukan besar. Dentuman meriam menghancurkan perkemahan mereka, membuat barisan prajurit kocar-kacir.

Gamawijaya melihat banyak rekannya gugur. Salah satunya, sahabatnya sendiri, Raden Arsapati, yang tertembak di dadanya.

“Wija… jangan biarkan perjuangan ini sia-sia…” bisik Arsapati sebelum menghembuskan napas terakhir.

Gamawijaya menggertakkan giginya, air matanya jatuh.

Di tengah kepungan musuh, ia mengambil kain batik dari saku Arsapati dan mengikatkannya di kakinya.

“Aku bersumpah, selama kain ini menempel di tubuhku, aku tak akan menyerah pada penjajah.”

Malam itu, Gamawijaya berhasil meloloskan diri bersama beberapa pasukan lainnya. Tapi hatinya penuh amarah. Ia tak akan membiarkan kematian rekannya sia-sia.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Tumenggung Jayaraga memanggilnya.

“Gamawijaya, kau bukan lagi sekadar prajurit. Kau adalah senopati yang akan memimpin pasukanmu sendiri,” ujar sang Tumenggung dengan suara berat.

Gamawijaya menatap gurunya dengan penuh tekad. Ia sadar, jalan yang dipilihnya bukanlah jalan mudah. Tetapi dalam hatinya, ia berjanji,

“Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan.”

Langkahnya sebagai senopati baru saja dimulai, dan bayangan peperangan yang lebih besar telah menanti di depan.

(Bersambung seri ke-2: Darah dan Pengkhianatan)

​OJK Mencabut Izin Jiwasraya, Nasabah Minta Prabowo Turun Tangan

JAKARTAMU.COM | Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-9/D.05/2025 tanggal 16 Januari...

More Articles Like This