Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Malam di Urut Sewu berubah menjadi lautan api dan darah. Gamawijaya berkelebat di antara bayangan pepohonan, kerisnya menari, menebas prajurit yang berani mendekat. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Pasukan Belanda dan anak buah Mangunprawira mengepung dari berbagai arah, membatasi ruang geraknya.
Dalam kepungan itu, Gamawijaya merasakan sesuatu yang ganjil. Tubuhnya masih kuat, tetapi langkahnya mulai terasa berat. Seolah ada sesuatu yang menghisap energinya perlahan-lahan.
“Gamada!” suara Ganda menggema dari kejauhan, memperingatkan.
Sebuah tombak melesat ke arahnya. Gamawijaya berkelit, tetapi ujung tombak itu sempat menggores bahunya. Darah segar merembes, membasahi kain yang membalut lengannya.
“Lawan mereka!” seru Gamawijaya kepada anak buahnya. “Jangan biarkan mereka menutup jalan keluar!”
Pertempuran semakin sengit. Namun, di tengah kekacauan itu, Mangunprawira berdiri tegak di atas sebuah batu besar, memperhatikan Gamawijaya dengan senyum tipis.
“Kesaktianmu luar biasa, Gamawijaya,” katanya lantang. “Tetapi setiap ilmu punya kelemahan.”
Gamawijaya menatapnya tajam.
Mangunprawira mengangkat sesuatu di tangannya—sehelai kain lusuh berwarna hitam dengan sulaman kuno di pinggirnya.
“Apakah ini yang membuatmu tak terkalahkan?” suaranya penuh ejekan.
Darah Gamawijaya berdesir. Itu adalah kain jimat yang selama ini ia kenakan di kakinya.
“Siapa yang memberikannya kepadamu?” geram Gamawijaya.
Mangunprawira terkekeh. “Kau pikir tak ada orang yang bisa dikhianati oleh pengikutnya sendiri?”
Mata Gamawijaya menyipit. Pengkhianatan ini lebih menyakitkan daripada luka di tubuhnya.
Tanpa kain jimatnya, ia merasa energinya semakin terkuras. Tubuhnya yang selama ini terasa ringan dan lincah, kini mulai melemah.
Namun, ia tak boleh tunduk begitu saja. Dengan sisa tenaga, Gamawijaya menyerang Mangunprawira. Kerisnya bergerak cepat, mencoba menebas musuh bebuyutannya.
Mangunprawira mundur beberapa langkah, tetapi tak benar-benar menghindar. “Lihat dirimu, Gamawijaya. Tanpa jimatmu, kau hanyalah manusia biasa.”
Gamawijaya menggertakkan gigi. “Kesaktian bukan hanya tentang jimat, tetapi tentang tekad!”
Ia menyerang lagi, tapi kali ini langkahnya tidak secepat sebelumnya. Mangunprawira melihat celah dan menangkis dengan pedangnya, lalu membalas dengan sabetan cepat yang hampir mengenai dada Gamawijaya.
Para pengikut Gamawijaya yang masih bertahan mencoba membantu, tetapi jumlah mereka semakin berkurang. Satu per satu mereka gugur atau tertangkap.
Gamawijaya tahu ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah ujung dari segalanya.
“Bunuh dia sekarang!” perintah Kapten Van Hoorn.
Mangunprawira tersenyum dingin. “Belum. Aku ingin ia melihat kehancuran kelompoknya terlebih dahulu.”
Gamawijaya mengatur napasnya. Ini belum berakhir. Ia harus mencari cara untuk membalikkan keadaan, atau mati sebagai pejuang.
(Bersambung ke seri ke-11: Hari-Hari Terakhir di Hutan Ambal)