Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Gamawijaya berlari menembus hutan Ambal dengan napas memburu. Kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan menjadi perlindungan terakhirnya dari kejaran Belanda dan pasukan Mangunprawira. Tubuhnya penuh luka, nafasnya berat, dan darah mengalir dari goresan pedang di punggungnya.
Dari kejauhan, suara anjing pelacak dan teriakan prajurit masih terdengar. Mereka tak akan berhenti sampai kepala Gamawijaya tergantung di alun-alun.
Setelah menempuh perjalanan beberapa mil, ia akhirnya tiba di sebuah goa kecil yang tersembunyi di balik akar pohon beringin tua. Ia meraba dinding batu yang lembap, lalu bersandar dengan tubuh lelah. Hanya ada dirinya, kesunyian, dan rasa sakit yang menusuk dari luka-lukanya.
Di luar, pasukan Belanda semakin gencar menyisir hutan. Mangunprawira berdiri di atas batu besar, menatap sekeliling dengan tatapan penuh kemenangan.
“Tak ada tempat bagimu untuk lari, Gamawijaya,” gumamnya.
Kapten Van Hoorn mendekatinya. “Kita harus segera menemukannya. Gubernur Jenderal sudah tidak sabar melihat kepalanya.”
Mangunprawira tersenyum tipis. “Ia tak akan mati dengan mudah. Gamawijaya bukan sekadar manusia biasa. Tapi sekarang, ia sudah kehilangan kekuatannya.”
Namun, di dalam goa, Gamawijaya masih belum menyerah. Ia membuka ikat kepalanya dan menekan luka di bahunya, mencoba menghentikan pendarahan.
Ia teringat kata-kata gurunya dulu, saat masih muda dan belajar ilmu kanuragan.
“Kekuatan sejati bukan berasal dari jimat, tetapi dari keyakinan. Tanpa keyakinan, jimat hanyalah selembar kain tak bernilai.”
Gamawijaya menggenggam tanah di lantai goa, meresapi dinginnya. Ia sadar, selama ini ia telah menggantungkan diri pada jimatnya. Tapi kini, tanpa jimat itu, ia harus menemukan kekuatan sejatinya.
Di luar, pasukan Mangunprawira semakin dekat. Mereka mulai menyisir setiap sudut hutan, memeriksa setiap pohon dan semak-semak.
“Dia pasti masih di sekitar sini,” kata salah satu prajurit.
Gamawijaya menarik napas panjang. Ini bukan akhir. Ia masih memiliki satu kesempatan terakhir.
Ia bangkit perlahan, menyiapkan diri untuk pertempuran terakhir.
(Bersambung ke seri ke-12: Jebakan di Malam Purnama)