Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Gamawijaya menerjang ke depan, tubuhnya melesat bagaikan bayangan di bawah sinar bulan. Kerisnya berkilat, menciptakan garis-garis tajam yang mematikan di udara. Dalam satu gerakan cepat, ia menebas seorang prajurit Belanda yang mencoba menghalanginya. Lelaki itu tersentak, lalu roboh dengan darah mengucur dari lehernya.
Malam itu berubah menjadi neraka. Api masih berkobar di desa, menerangi pertarungan yang berlangsung sengit. Jeritan warga menggema di antara derak kayu yang terbakar dan suara dentingan senjata yang beradu.
Mangunprawira berdiri tegap di tengah kekacauan itu, menatap Gamawijaya dengan senyum tipis. “Akhirnya kau datang juga, Kecu. Aku sudah lama menantikan saat ini.”
Gamawijaya menoleh, sorot matanya penuh kemarahan. “Aku tak pernah menganggapmu lawan yang sepadan, Mangunprawira.”
Lelaki itu terkekeh, lalu menghunus pedangnya. “Kita lihat siapa yang lebih pantas dikenang sebagai legenda.”
Mereka saling menatap, lalu dalam sekejap, tubuh mereka melesat. Pertarungan satu lawan satu dimulai.
Keris Gamawijaya berkelebat cepat, menyerang tanpa ragu. Mangunprawira menangkis dengan pedangnya, menciptakan percikan cahaya di udara. Mereka bergerak seperti bayangan yang menari, saling mengukur dan mencari celah.
Dari kejauhan, Kapten Van Hoorn memperhatikan dengan penuh minat. Ia tahu bahwa pertempuran ini akan menentukan akhir dari legenda Gamawijaya.
Gamawijaya terus menekan dengan serangan bertubi-tubi, memaksa Mangunprawira mundur beberapa langkah. Tapi lelaki itu bukan lawan yang mudah. Dengan kecepatan luar biasa, ia berbalik menyerang, pedangnya meluncur ke arah perut Gamawijaya.
Gamawijaya melompat ke samping, nyaris menghindari serangan itu. Tapi di saat yang sama, sebuah tembakan meletus dari arah pasukan Belanda.
Peluru itu menembus bahunya.
Gamawijaya tersentak, merasakan panas yang menyebar di tubuhnya. Ia jatuh berlutut, darah mengalir dari lukanya.
Mangunprawira menyeringai. “Kau kalah, Kecu.”
Gamawijaya menggertakkan gigi. Matanya masih menyala penuh semangat, tetapi tubuhnya mulai kehilangan kekuatan.
Van Hoorn maju dengan langkah santai. “Sudah cukup, Gamawijaya. Ini akhir perjalananmu.”
Gamawijaya mencoba berdiri, tetapi Mangunprawira menendangnya hingga ia kembali jatuh ke tanah.
Lelaki itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Takdir akhirnya membawamu ke titik ini.”
Gamawijaya menatap langit, melihat bulan purnama yang bersinar terang. Ia tahu bahwa malam ini adalah malam terakhirnya.
Tapi sebelum pedang itu meluncur ke arahnya, sebuah suara lantang menggema.
“Gamawijaya tidak mati!”
Dari dalam hutan, puluhan warga desa muncul dengan senjata seadanya. Mereka berteriak, menerjang ke arah pasukan Belanda dengan keberanian yang tak terduga.
Malam itu, legenda Gamawijaya tidak berakhir begitu saja.
(Bersambung ke seri ke-14: Kematian Seorang Legenda)