Minggu, Maret 9, 2025
No menu items!
spot_img

Forza Gamawijaya (14): Kematian Seorang Legenda

spot_img
Must Read


Oleh; Dwi Taufan Hidayat

Gamawijaya terhuyung, lututnya nyaris tak sanggup menopang tubuhnya yang penuh luka. Napasnya memburu, darah hangat terus merembes dari bahunya yang tertembak. Tapi matanya tetap tajam, menatap Mangunprawira yang berdiri tegak di hadapannya dengan pedang yang masih berkilat oleh sinar bulan.

Sorak-sorai perlawanan rakyat menggema dari kejauhan. Mereka menyerbu pasukan Belanda dengan senjata seadanya—bambu runcing, golok, dan kayu. Keberanian mereka membakar semangat Gamawijaya, tapi ia tahu, tubuhnya tak lagi sekuat dulu.

“Sudahlah, Gamawijaya,” ujar Mangunprawira sambil mengayunkan pedangnya ke samping. “Tak ada gunanya lagi. Kau kehabisan tenaga.”

Gamawijaya tersenyum lemah. “Aku tak pernah benar-benar kalah, Mangunprawira. Bahkan jika aku mati malam ini, rakyat tak akan melupakan perjuanganku.”

Mangunprawira mendengus. “Ucapan orang yang tahu ajalnya sudah dekat.”

Kapten Van Hoorn, yang berdiri di belakang, mengangkat tangan sebagai tanda kepada prajuritnya untuk tetap siaga. “Selesaikan dia sekarang, Mangunprawira. Jangan biarkan dia punya kesempatan untuk melarikan diri lagi.”

Gamawijaya menarik napas panjang. Ia menatap kain jimat yang terikat di kakinya—sumber kesaktiannya, pusaka yang selalu melindunginya. Lalu, sesuatu terlintas di benaknya.

Seketika, ia meraih kain itu dan merobeknya dengan satu tarikan kuat.

Mangunprawira terkejut. “Apa yang kau lakukan?”

Gamawijaya tersenyum tipis. “Membiarkan takdir bekerja sebagaimana mestinya.”

Dalam sekejap, tubuhnya terasa lebih ringan, tetapi juga lebih lemah. Ia tak lagi memiliki perlindungan dari kain jimatnya.

Dengan langkah tertatih, Gamawijaya mengangkat kerisnya untuk terakhir kalinya. “Ayo, Mangunprawira. Kita selesaikan ini sebagai laki-laki, tanpa tipu daya.”

Mangunprawira terdiam sejenak, lalu mengangkat pedangnya. “Kau memang keras kepala.”

Mereka saling menerjang.

Gamawijaya mencoba menyerang dengan kecepatan yang tersisa, tapi Mangunprawira lebih gesit. Pedangnya menebas udara, melesat ke arah perut Gamawijaya.

Darah muncrat.

Gamawijaya terhuyung ke belakang, tangannya memegang luka menganga di perutnya. Napasnya berat, tetapi senyum tipis tetap tersungging di bibirnya.

Ia jatuh berlutut. Tubuhnya gemetar. Namun, di matanya, tak ada ketakutan.

Mangunprawira mendekat, lalu mengayunkan pedangnya sekali lagi.

Kepala Gamawijaya terpisah dari tubuhnya.

Keheningan menyelimuti sejenak.

Para prajurit Belanda bersorak. Pasukan rakyat yang masih bertahan menjerit pilu. Di langit, bulan purnama bersinar redup, seolah berduka atas gugurnya seorang legenda.

Mangunprawira mengambil kepala Gamawijaya, lalu menyerahkannya pada Van Hoorn. “Bawa ini ke pasar Bocor. Biarkan rakyat tahu bahwa pemberontakan telah berakhir.”

Kapten Belanda itu mengangguk puas. “Kerja bagus, Mangunprawira. Kau akan mendapatkan imbalan yang layak.”

Di desa, tangisan pecah di antara warga yang menyaksikan kepala Gamawijaya dibawa pergi. Tapi di hati mereka, mereka tahu—Gamawijaya mungkin telah gugur, tetapi semangatnya tidak akan pernah mati.

Malam itu, seorang manusia menjadi legenda.

(Bersambung ke seri ke-15: Imbalan dan Pengkhianatan)

spot_img

Tarkhim PDM Kabupaten Semarang: Menguatkan Gerakan Islam di PCM Kaliwungu

KALIWUNGU, JAKARTAMU.COM | Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Semarang kembali menggelar Tarkhim Ramadhan sebagai bagian dari agenda dakwah...

More Articles Like This