Minggu, Maret 9, 2025
No menu items!
spot_img

Forza Gamawijaya (15): Imbalan dan Pengkhianatan

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Pagi itu, pasar Bocor dipenuhi orang-orang yang datang dengan perasaan campur aduk—antara ketakutan dan duka yang terpendam. Di tengah keramaian, sebuah tiang kayu didirikan. Dan di atasnya, kepala Gamawijaya diletakkan sebagai tanda kemenangan pemerintah kolonial atas “pemberontakan”.

Para prajurit Belanda berkeliling, menjaga agar tak ada yang berani mendekat terlalu lama. Namun, dari mata mereka yang menyaksikan, bukan ketakutan yang tampak, melainkan api semangat yang belum padam.

Di tengah keramaian itu, seorang wanita tua berdiri dengan mata yang sembab. Tangannya gemetar saat meraba kain lusuh yang pernah diberikan Gamawijaya padanya bertahun-tahun lalu. “Kau memang telah gugur, Nak,” gumamnya lirih, “tapi nama dan perjuanganmu tak akan pernah mati.”

Di kejauhan, Mangunprawira berdiri di atas sebuah panggung kecil. Di sebelahnya, Kapten Van Hoorn tersenyum puas. “Hari ini,” kata Van Hoorn, “kita menyaksikan akhir dari seorang penjahat besar. Dan bagi Mangunprawira, ada hadiah yang layak atas jasanya.”

Van Hoorn menoleh ke arah asistennya, yang kemudian membawa sebuah peti kecil berisi emas. “Inilah imbalanmu, Mangunprawira. Dan, seperti yang dijanjikan, pemerintah akan mengangkatmu sebagai Adipati pertama Ambal.”

Tepuk tangan terdengar, sebagian besar dari para pejabat kolonial dan bangsawan yang turut hadir. Namun, rakyat jelata hanya diam.

Mangunprawira menerima peti emas itu, tetapi di dalam hatinya, perasaan tak menentu mulai tumbuh. Ia telah mendapatkan kehormatan yang selama ini diimpikannya, tetapi mengapa dadanya terasa begitu sesak?

Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan sesuatu yang lebih mengganggu. Di setiap sudut desa, ia mendengar bisikan-bisikan tentang Gamawijaya—bukan sebagai begal, bukan sebagai penjahat, tetapi sebagai pahlawan rakyat.

“Gamawijaya tidak mati,” seorang lelaki tua berbisik pada cucunya di pojok pasar. “Ia akan selalu hidup dalam hati kita.”

Malamnya, Mangunprawira duduk di dalam pendapa kadipatennya yang baru. Lilin-lilin berpendar lembut, tetapi bayang-bayang yang ditimbulkannya membuat ruang itu terasa lebih gelap.

Ia mencoba menikmati kemenangannya. Di hadapannya ada hidangan mewah, anggur, dan emas yang kini menjadi miliknya. Tapi hatinya gelisah.

Lalu, suara langkah kaki terdengar dari luar. Seorang utusan dari Kesultanan datang membawa surat. Mangunprawira membuka gulungan itu, matanya menyipit saat membaca isi pesan yang begitu singkat:

“Jangan pernah lupa, adipati. Pengkhianatan memiliki harga.”

Darahnya berdesir. Ia menoleh ke sekeliling, merasa seperti sedang diawasi. Kain jimat Gamawijaya yang dulu dirampasnya masih ada di sudut ruangan, tapi kini ia ragu apakah itu benar-benar menjadi jimat keberuntungan baginya, atau justru kutukan.

Sementara itu, di sudut-sudut desa, bayangan-bayangan baru mulai bergerak. Pemuda-pemuda yang terinspirasi oleh perjuangan Gamawijaya mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka merencanakan sesuatu.

Kematian Gamawijaya memang menutup satu babak, tetapi perlawanan belum benar-benar berakhir.

(Bersambung ke seri ke-16: Adipati yang Gelisah)

spot_img

Dugaan Korupsi Dana Hibah Tilawatil Quran di Pringsewu: Tiga Pejabat Ditahan

PRINGSEWU, JAKARTAMU.COM | Kejaksaan Negeri (Kejari) Pringsewu menahan tiga pejabat daerah terkait dugaan korupsi dana hibah Lembaga Pengembangan Tilawatil...

More Articles Like This