Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Malam semakin larut di Kadipaten Ambal. Hujan rintik-rintik membasahi halaman pendapa, menciptakan bayangan kelam yang menari di lantai batu. Di dalam ruangannya yang megah, Adipati Mangunprawira duduk di singgasananya, tetapi tidak ada rasa nyaman di hatinya. Sejak hari eksekusi Gamawijaya, tidurnya selalu terganggu oleh mimpi-mimpi buruk.
Ia sering melihat sosok Gamawijaya berdiri di ambang pintu kamarnya, memandangnya dengan sorot mata tajam. Kadang, ia mendengar suara langkah kaki berderap di lorong istana, tetapi saat ia mengintip, tak ada siapa pun di sana.
Malam ini, gelisahnya semakin menjadi-jadi. Ia memandangi kain jimat Gamawijaya yang dulu dirampasnya. Sejak benda itu berada di tangannya, bayangan masa lalu terus menghantuinya.
“Apa ini hanya permainan pikiranku sendiri?” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah ketakutan yang berlebihan.
Namun, di luar sana, sesuatu sedang terjadi.
Bisikan di Desa
Di desa-desa sekitar Ambal, rakyat semakin berani berbicara. Mereka berkumpul secara diam-diam di rumah-rumah, membicarakan Gamawijaya bukan sebagai seorang begal, tetapi sebagai pahlawan yang melawan kesewenang-wenangan kolonial.
“Kau tahu? Gamawijaya tak pernah benar-benar mati,” kata seorang lelaki tua kepada beberapa pemuda yang mendengarkannya dengan saksama. “Ia hanya berubah wujud menjadi semangat dalam diri kita.”
Pemuda-pemuda itu mengangguk. Mereka adalah generasi baru yang tumbuh dengan cerita tentang keberanian Gamawijaya. Beberapa di antara mereka mulai berlatih senjata seadanya.
Seorang lelaki bernama Sanggabumi menjadi salah satu pemimpin gerakan ini. Ia adalah bekas pengikut Gamawijaya yang berhasil melarikan diri saat pengepungan di Urut Sewu. Kini, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan.
“Adipati Mangunprawira mungkin berpikir dia telah menang,” katanya, “tapi kita akan buktikan bahwa Gamawijaya masih hidup dalam jiwa kita!”
Mimpi Buruk Sang Adipati
Di kadipaten, Mangunprawira akhirnya tertidur setelah memaksakan dirinya meminum ramuan penenang dari tabib istana. Namun, tidurnya tidak nyenyak.
Dalam mimpinya, ia kembali berada di medan perang, dikelilingi kabut tebal. Dari kejauhan, suara gemerincing pedang terdengar.
Lalu, muncullah Gamawijaya. Sosoknya berdiri tegap, dengan darah mengalir dari dahinya yang luka. Mata itu menatapnya penuh amarah.
“Kau pikir telah menang, Mangunprawira?” suara Gamawijaya terdengar dalam mimpinya. “Pengkhianatanmu akan selalu dibayar dengan darah!”
Tiba-tiba, tubuh Mangunprawira terasa berat, seakan ada tangan-tangan tak terlihat yang menariknya ke bawah tanah. Ia mencoba berteriak, tetapi suaranya tak keluar.
Ia terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi tubuhnya.
“Panggil tabib! Sekarang juga!” perintahnya pada pengawal yang berjaga di luar kamarnya.
Tabib datang, tetapi tak menemukan penyakit apa pun. “Ini hanya kecemasan, Gusti Adipati,” katanya. “Mungkin ada sesuatu yang membebani pikiran Anda.”
Namun, Mangunprawira tahu bahwa ini bukan sekadar kecemasan biasa.
Ketakutan yang Menyebar
Di pagi harinya, kabar tentang mimpi buruk Mangunprawira mulai tersebar. Para prajurit kadipaten mulai merasa resah. Ada yang berbisik bahwa arwah Gamawijaya masih berkeliaran, mencari pembalasan.
“Bagaimana jika benar dia akan kembali?” bisik salah seorang prajurit kepada rekannya.
“Jangan bicara sembarangan!” sahut yang lain, meskipun dalam hatinya, ia pun merasa takut.
Sementara itu, Van Hoorn, sang perwira Belanda, mendapat laporan tentang pergerakan rakyat di desa-desa sekitar Ambal.
“Jadi, mereka masih belum menyerah?” katanya sambil menghela napas. “Kalau begitu, kita harus pastikan bahwa nama Gamawijaya benar-benar dilenyapkan dari sejarah!”
Van Hoorn segera memerintahkan patroli lebih ketat dan mulai menangkap siapa pun yang menyebarkan kisah tentang Gamawijaya. Namun, semakin keras mereka menekan, semakin besar semangat rakyat untuk melawan.
Bayangan Gamawijaya di Istana Kadipaten
Malam itu, Mangunprawira kembali gelisah. Ia berjalan sendirian di lorong istananya yang sepi, mencoba menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
“Mbak Mangunprawira…”
Ia membalikkan badan dengan cepat. Tidak ada siapa pun.
Namun, saat ia melangkah lebih jauh, sebuah bayangan hitam berdiri di ujung lorong.
Bayangan itu berbentuk seorang pria bertubuh tegap, mengenakan pakaian perang yang dikenalnya dengan baik.
Gamawijaya.
Mangunprawira menahan napas. Ini tidak mungkin nyata!
Bayangan itu tidak berkata-kata, hanya berdiri diam, menatapnya. Namun, tatapan itu cukup untuk membuat Mangunprawira merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kakinya lemas. Ia mencoba berlari, tetapi tubuhnya terasa berat.
Bayangan itu semakin mendekat…
Dan tiba-tiba—
BRAK!
Mangunprawira tersentak dan mendapati dirinya jatuh tersungkur di lantai kamarnya. Nafasnya tersengal, keringat membasahi tubuhnya.
Ia menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.
Tapi di lantai, ada jejak basah, seakan seseorang baru saja berjalan melewatinya.
Adipati Mangunprawira kini benar-benar sadar bahwa bayangan Gamawijaya bukan sekadar mimpi buruk.
Di luar sana, rakyat mulai bergerak. Perlawanan baru akan segera dimulai.
(Bersambung ke seri ke-17: Perlawanan yang Tak Padam)