Rabu, Maret 12, 2025
No menu items!
spot_img

Forza Gamawijaya (19): Akhir Kadipaten Ambal

spot_img
Must Read

Cerbung: Dwi Taufan Hidayat

MALAM di Kadipaten Ambal terasa lebih gelap dari biasanya. Rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan pekat, seakan enggan menyinari tanah yang semakin sarat dengan intrik dan ketakutan. Angin laut berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering di halaman pendapa kadipaten.

Di dalam ruang utamanya, Raden Ngabehi Mangunprawira duduk dengan gelisah. Sejak pertemuannya dengan Kanjeng Residen di Semarang beberapa pekan lalu, hatinya tidak pernah benar-benar tenteram.

Ia diberi mandat untuk mempertahankan kekuasaan di Ambal, tetapi situasi semakin tak terkendali. Rakyat tidak pernah melupakan Gamawijaya, dan kini muncul kelompok-kelompok kecil yang melakukan pemberontakan. Mereka bukan hanya petani biasa, tetapi mantan pengikut Gamawijaya yang masih menyimpan dendam.

Malam ini, kabar buruk kembali datang.

Seorang prajurit kadipaten masuk dengan napas tersengal. “Gusti Adipati… pasukan dari Panjer telah bergerak. Mereka mendekati perbatasan dengan kekuatan penuh.”

Mangunprawira mengepalkan tangan. “Mereka benar-benar ingin menghapus Kadipaten Ambal?”

Prajurit itu mengangguk. “Panjer telah mendapat restu dari pihak kolonial. Mereka menganggap Ambal sudah tidak stabil dan terlalu banyak gangguan dari pemberontak. Mereka ingin menyatukan wilayah ini di bawah pemerintahan Panjer.”

Mangunprawira berdiri. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah kegelapan yang seakan menyimpan ancaman yang semakin nyata.

Ia telah mengkhianati Gamawijaya, mengambil kepalanya, dan menyerahkannya kepada Belanda. Sebagai imbalannya, ia mendapatkan kekuasaan. Tetapi sekarang, semua itu seakan berbalik menghantam dirinya sendiri.

“Siapkan pasukan,” perintahnya. “Kita tidak akan menyerah tanpa perlawanan.”

Pemberontakan yang Membara

Sementara itu, di lereng bukit tak jauh dari perbatasan Ambal, Sanggabumi dan para pengikutnya menatap dari kejauhan. Mereka melihat betapa kota kadipaten kini berada di ambang kehancuran.

“Dulu, Gamawijaya berjuang untuk rakyat, bukan untuk kadipaten,” ujar seorang pejuang muda. “Jika Ambal jatuh, biarlah. Yang penting rakyat tetap memiliki semangat perlawanan.”

Sanggabumi mengangguk. “Kadipaten ini dibangun atas dasar pengkhianatan. Takdirnya memang harus berakhir.”

Namun, mereka juga tahu bahwa banyak rakyat yang masih terjebak di dalam kota. Jika perang terjadi, korban akan berjatuhan.

“Ora bakal mandeg nganti tanah iki mulih marang kang duwe,” gumam Sanggabumi. (“Perlawanan ini tak akan berhenti sampai tanah ini kembali ke pemiliknya yang sah.”)

Maka, dengan langkah hati-hati, mereka menyusup ke dalam kota. Bukan untuk membela Mangunprawira, tetapi untuk menyelamatkan rakyat dari kehancuran yang semakin dekat.

Pertempuran di Gerbang Kadipaten

Pagi menjelang, dan pasukan Panjer telah tiba di gerbang utama Kadipaten Ambal. Mereka membawa meriam kecil, sesuatu yang belum pernah dihadapi pasukan Mangunprawira sebelumnya.

“Dengan ini, kami nyatakan bahwa Kadipaten Ambal telah dibubarkan! Serahkan diri kalian atau hadapi kehancuran!” seru seorang perwira Panjer.

Mangunprawira berdiri di atas pendapa, menatap pasukan di luar gerbang. “Ambal tidak akan menyerah!” teriaknya.

Perintah pertempuran pun diberikan.

Tembakan pertama meriam mengguncang tanah. Prajurit Ambal berusaha bertahan, tetapi pasukan Panjer jauh lebih terlatih dan memiliki persenjataan yang lebih unggul.

Dari dalam kota, Sanggabumi dan kelompoknya bergerak cepat, mengevakuasi warga sebelum pertempuran semakin brutal. Mereka membawa anak-anak dan orang tua ke tempat yang lebih aman di luar kota.

Sementara itu, di medan pertempuran, Mangunprawira mulai menyadari bahwa perlawanan ini sia-sia.

Tak butuh waktu lama sebelum pasukan Panjer menerobos gerbang. Para prajurit Ambal yang tersisa mulai mundur, meninggalkan pemimpin mereka yang kini berdiri sendirian di tengah pendapa.

Saat seorang perwira Panjer naik ke pendapa, Mangunprawira menatapnya dengan mata penuh kemarahan.

“Akhirnya kau jatuh juga, Mangunprawira,” kata sang perwira.

Mangunprawira tersenyum pahit. “Kadipaten ini memang dibangun atas pengkhianatan… dan pengkhianatanlah yang mengakhirinya.”

Tak lama kemudian, sebuah pedang menebas tubuhnya.

Darah membasahi lantai pendapa.

Rakyat Ambal Tidak Pernah Lupa

Setelah kematian Mangunprawira, Kadipaten Ambal resmi dihapus dan digabungkan dengan Panjer, yang kelak menjadi bagian dari Kebumen.

Namun, di hati rakyat Ambal, kisah ini tidak pernah benar-benar berakhir.

Mereka tidak mengenang Mangunprawira sebagai pemimpin besar. Sebaliknya, nama yang terus hidup di antara mereka adalah Gamawijaya.

Di malam-malam tertentu, para orang tua masih menceritakan kisahnya kepada anak-anak mereka. Tentang seorang senopati yang menjadi pejuang rakyat, tentang pengkhianatan dan ketidakadilan, dan tentang semangat perlawanan yang tak pernah padam.

Dan di suatu tempat, di tengah hutan yang lebat, makam Gamawijaya tetap berdiri sunyi, menjadi saksi bisu dari sejarah yang terus hidup dalam ingatan.

(Bersambung ke seri ke-20: Forza Gamawijaya!)

spot_img

BazarMu Lazismu Sediakan Ratusan Takjil Gratis UMKM

JAKARTAMU.COM | Program Tebar Takjil Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) pada Ramadan ini berbeda. Tahun ini...

More Articles Like This