Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Forza Gamawijaya (2): Darah dan Pengkhianatan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Pertempuran yang berlangsung di sepanjang lereng bukit itu menjadi salah satu yang paling berdarah dalam sejarah Perang Jawa. Pasukan Pangeran Diponegoro, yang dipimpin oleh para senopati seperti Gamawijaya, menghadapi tekanan besar dari serangan bertubi-tubi Belanda yang semakin cerdik dalam strateginya.

Darah bercampur lumpur di medan tempur. Gemuruh dentuman meriam mengguncang tanah, sementara suara benturan tombak dan pedang menggema di udara. Gamawijaya, dengan sorban putih yang kini ternoda darah, terus bergerak di antara pasukan, memberikan komando, menangkis serangan, dan sesekali menebas lawan yang terlalu dekat.

“Jangan biarkan mereka memecah barisan kita!” teriaknya, mencoba mempertahankan moral pasukan yang mulai goyah.

Namun, sesuatu yang lebih berbahaya dari meriam dan bayonet telah menyusup ke dalam barisan mereka—pengkhianatan.

Malam sebelum pertempuran, dalam gelapnya hutan perbukitan Menoreh, seorang pria menyelinap di antara rerimbunan pohon. Ia mengenakan jubah panjang dan berjalan dengan hati-hati agar tidak terdengar. Pria itu adalah Wirasentana, salah satu perwira yang dikenal setia dalam pasukan Diponegoro. Tapi malam itu, ia menemui seseorang yang tidak seharusnya ia temui—seorang perwira Belanda berkuda, dengan ekspresi puas menyeringai melihat kedatangannya.

“Jadi, kau akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran kami,” kata perwira Belanda itu dengan nada puas.

Wirasentana menelan ludah, lalu mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan keluargaku selamat.”

“Bagus. Maka berikan kami informasi yang kubutuhkan.”

Wirasentana memberikan peta, menggambar jalur yang akan dilewati pasukan Diponegoro besok. Ia menjelaskan titik kelemahan formasi mereka dan memberikan detail mengenai rencana serangan.

Dengan informasi itulah Belanda menyusun strategi baru—dan di sinilah mereka sekarang, menghancurkan pasukan yang semula memiliki keunggulan di medan berbukit.

Gamawijaya merasakan ada yang tidak beres sejak awal. Biasanya, pasukan kolonial kesulitan menyesuaikan diri dengan perbukitan, tetapi hari ini mereka bergerak dengan percaya diri, seolah tahu di mana pasukan Diponegoro akan bergerak dan bertahan.

Benar saja, sebelum sempat menyusun ulang formasi, terdengar suara ledakan keras dari arah barat. Asap tebal mengepul, diikuti pekikan prajurit yang terlempar akibat ledakan.

“Kita terkepung!” seru Jayaraga, tangan kanannya berlumuran darah dari luka pertempuran.

Gamawijaya menoleh ke arah lain, melihat pasukan Belanda datang dari arah timur dan utara. Taktik pengepungan ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka lakukan tanpa informasi dalam.

Mata Gamawijaya menyipit. “Pengkhianatan,” gumamnya.

Ia memutar otaknya dengan cepat. Jika mereka bertahan, mereka akan habis. Jika mereka mundur, harus ada jalur yang cukup aman.

Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, sebuah teriakan dari kejauhan membuatnya menoleh.

Wirasentana berdiri di atas batu besar, dengan ekspresi yang tak lagi menyembunyikan niatnya. Ia mengangkat tangan, memberi tanda kepada pasukan Belanda, lalu berteriak, “Tangkap mereka! Habisi pemimpin mereka!”

Bagi Gamawijaya, pengkhianatan adalah luka yang lebih dalam dari tebasan pedang. Ia tidak hanya kehilangan seorang rekan seperjuangan, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap seseorang yang dulu ia anggap saudara.

Kemarahan bergejolak dalam dadanya, tetapi ia tahu ini bukan saatnya tenggelam dalam emosi.

“Jayaraga! Bawa pasukan mundur ke selatan!” serunya.

Jayaraga ragu sejenak. “Bagaimana denganmu?”

Gamawijaya menarik napas dalam. “Aku akan menahan mereka sebisa mungkin.”

Tanpa menunggu jawaban, ia menghunus kerisnya dan melompat ke depan, menghadang pasukan Belanda yang mulai maju.

Ia bergerak cepat, menghindari tebasan bayonet dan membalas dengan serangan mematikan. Satu per satu lawannya jatuh, tetapi ia tahu ini hanya masalah waktu sebelum jumlah mereka terlalu banyak untuk diatasi sendiri.

Pada akhirnya, pilihan terbaiknya adalah bertahan cukup lama hingga pasukan lainnya bisa menyelamatkan diri.

Ia berputar ke belakang, melihat sebagian besar pasukan sudah bergerak mundur sesuai perintahnya.

“Sekarang giliranmu, Gamawijaya,” gumamnya, lalu melangkah mundur dengan hati-hati.

Namun saat ia berbalik, seseorang berdiri di hadapannya—Wirasentana.

“Kau masih bisa selamat,” kata Wirasentana dengan nada tenang. “Serahkan diri, dan aku akan memastikan kau diampuni.”

Gamawijaya tertawa kecil, tetapi tatapan matanya dingin. “Kau pikir aku akan mengkhianati perjuangan seperti kau mengkhianati saudara-saudaramu?”

Wirasentana menghela napas. “Aku tidak ingin membunuhmu, Gamawijaya. Tapi kalau kau tetap melawan, aku tidak punya pilihan.”

Gamawijaya mencengkeram kerisnya lebih erat. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang bertahan lebih lama.”

Duel pun terjadi.

Gamawijaya melesat ke depan, menyerang dengan kecepatan luar biasa. Wirasentana mencoba menangkis, tetapi tekanan serangan Gamawijaya membuatnya mundur selangkah demi selangkah.

Namun, Wirasentana tidak bertarung sendirian.

Tiba-tiba, dari arah samping, seorang prajurit Belanda menembakkan peluru ke arah Gamawijaya.

Peluru itu tidak langsung mengenainya, tetapi menghantam bahu kirinya, membuatnya terhuyung. Kesempatan itu dimanfaatkan Wirasentana untuk menyerang.

Gamawijaya berhasil menghindari serangan fatal, tetapi luka di bahunya semakin banyak menguras tenaganya. Ia tahu, jika ia tetap bertarung di sini, ia tidak akan bisa keluar hidup-hidup.

Maka ia mengambil keputusan terakhir.

Ia berlari ke belakang, melompat ke jurang kecil yang di bawahnya terdapat aliran sungai deras.

Wirasentana hanya bisa menyaksikan saat tubuh Gamawijaya menghilang di antara bebatuan dan arus sungai.

Para prajurit Belanda berlarian ke tepian jurang, mencari tanda-tanda apakah Gamawijaya masih hidup.

Tetapi tidak ada yang bisa mereka lihat.

Hanya arus sungai yang terus mengalir, membawa cerita tentang seorang senopati yang telah hilang dalam peperangan.

Namun bagi mereka yang mengenalnya, ini belumlah akhir.

Gamawijaya belum mati.

(Bersambung ke seri ke-3: Kembali ke Urut Sewu)

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This