Oleh : Dwi Taufan Hidayat
Sungai yang deras menghanyutkan tubuh Gamawijaya, membawanya melewati batu-batu tajam dan ranting-ranting yang mencuat dari dasar air. Dadanya sesak oleh tekanan arus, dan setiap kali ia mencoba mengangkat kepala, gelombang lain datang menghantam. Tubuhnya lelah, pundaknya masih berdarah akibat luka tembak, tetapi ia tidak bisa menyerah.
Dengan sisa tenaga, ia meraih akar pohon yang menjulur dari tebing. Cengkeramannya melemah, tetapi naluri bertahan hidupnya memaksanya bertahan. Dengan satu hentakan terakhir, ia menarik dirinya keluar dari air, terbaring di tepi sungai dengan napas memburu.
Langit di atasnya gelap, awan menggantung rendah, seakan berkabung atas kekalahan pasukan Diponegoro. Gamawijaya tidak tahu berapa lama ia terbaring di sana, tetapi saat ia membuka mata, matahari sudah naik di ufuk timur.
Ia harus bangkit. Ia harus kembali.
Tiga hari kemudian, dengan tubuh yang masih lemah dan luka yang belum sembuh, Gamawijaya akhirnya tiba di tanah kelahirannya—Urut Sewu.
Dari kejauhan, ia melihat sawah-sawah membentang, dipagari pohon kelapa yang melambai diterpa angin laut. Dulu, tanah ini adalah tempat ia bermain sebagai anak-anak, tempat ia menempa diri sebelum berangkat berperang.
Tetapi sekarang, tanah ini terasa berbeda.
Ia berjalan melewati jalan setapak yang menuju perkampungan, dan yang ia lihat adalah wajah-wajah muram. Orang-orang berjalan dengan bahu tertunduk, seakan membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul.
Di tepi jalan, seorang lelaki tua sedang berjongkok, menatap padi yang merunduk lesu. Gamawijaya mengenalnya—Pak Mulyo, seorang petani yang dulu sering mengajaknya bermain di ladang.
Gamawijaya mendekat. “Pak Mulyo?”
Lelaki tua itu menoleh, tetapi tidak langsung mengenalinya. Wajah Gamawijaya kini dipenuhi bekas luka, tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya.
“Siapa kau, anak muda?” suara Pak Mulyo parau.
Gamawijaya tersenyum samar. “Aku Gamawijaya, Pak. Anak Wongsopuro.”
Pak Mulyo terdiam sejenak. Lalu, matanya melebar. “Ya Allah… Kau masih hidup?”
Gamawijaya mengangguk. “Apa yang terjadi di sini, Pak? Mengapa semua tampak begitu muram?”
Pak Mulyo menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Kemudian, ia menarik Gamawijaya ke sudut jalan. “Sejak perang usai, Belanda semakin menekan rakyat. Pajak tanah naik, dan banyak yang dipaksa menyerahkan hasil panennya. Orang-orang kelaparan, tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa.”
Gamawijaya mengepalkan tangannya. Ia sudah melihat dampak perang dari sisi medan tempur. Kini, ia melihat sisi lain—rakyat yang tertindas akibat kekalahan.
“Apa tidak ada yang melawan?” tanya Gamawijaya.
Pak Mulyo menggeleng. “Siapa yang berani? Tentara kolonial berpatroli setiap hari. Mereka menangkap siapa saja yang dicurigai.”
Gamawijaya menghela napas. Ia datang dengan tubuh penuh luka dan hati yang diliputi kehancuran. Tetapi kini, di hadapan rakyatnya yang menderita, ia merasa marah.
Mungkin perang belum benar-benar berakhir.
Hari itu, Gamawijaya berjalan mengelilingi kampung. Ia melihat rumah-rumah yang atapnya berlubang, anak-anak yang perutnya membuncit karena kurang gizi, dan ibu-ibu yang berbisik dengan wajah cemas setiap kali seorang tentara kolonial melintas.
Di pasar, harga-harga melambung tinggi. Beras dijual dengan harga yang tak masuk akal, dan garam menjadi barang langka.
Seorang perempuan muda sedang berdebat dengan pedagang di sudut pasar. Wajahnya kemerahan karena amarah.
“Harga segini? Kau ingin kami mati kelaparan?”
Pedagang itu menghela napas. “Maaf, Sari. Aku tidak punya pilihan. Pajak makin tinggi, dan aku harus tetap hidup.”
Gamawijaya memperhatikan perempuan itu. Ia mengenalnya—Sari, gadis pemberani yang dulu sering bermain di pantai bersamanya. Tetapi kini, tidak ada keceriaan di matanya.
Saat ia menoleh dan bertatapan dengan Gamawijaya, ia terdiam.
“Gamawijaya?”
Ia mengangguk.
Sari melangkah maju, lalu tanpa peringatan, menampar pipinya.
“Di mana kau selama ini?” suaranya gemetar. “Kau pergi berperang, lalu menghilang! Kami di sini menderita, sementara kau entah di mana!”
Gamawijaya tidak membalas. Ia menerima tamparan itu, karena ia tahu ada kebenaran di dalamnya.
Sari menghela napas panjang, lalu matanya melembut. “Maaf…” bisiknya.
Gamawijaya tersenyum tipis. “Tidak apa. Aku memang pantas mendapatkannya.”
Sari menatapnya lama, lalu berkata, “Kalau kau masih punya keberanian, Gamawijaya, lakukan sesuatu. Jangan biarkan mereka terus merampas milik kita.”
Gamawijaya menatap ke langit yang mulai menggelap. Angin laut berhembus, membawa aroma garam yang menyengat.
Ia sadar.
Perang baru telah dimulai.
(Bersambung ke seri ke-4: Jalan Seorang “Kecu”)