Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Malam turun perlahan di Urut Sewu. Cahaya bulan setengah purnama menerangi hamparan pasir pantai yang membentang luas. Ombak bergemuruh di kejauhan, seakan membawa bisikan para leluhur yang telah gugur. Gamawijaya berdiri di puncak bukit kecil, memandang ke arah perkampungan yang berkelip dalam redup pelita.
Di bawah sana, rakyatnya terlelap dalam kelaparan dan ketakutan.
Ia mengepalkan tinjunya. Tidak ada lagi waktu untuk diam.
Dulu, ia bertempur di bawah panji Pangeran Diponegoro. Kini, ia harus menemukan caranya sendiri untuk melawan.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Sari muncul dari balik rimbunan ilalang, wajahnya masih menyiratkan amarah yang belum sepenuhnya reda sejak pertemuan mereka di pasar.
“Jadi, kau akan melakukan sesuatu?” tanyanya tajam.
Gamawijaya menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh tekad. “Ya.”
Sari menarik napas panjang. “Kau tahu risiko yang kau ambil?”
Gamawijaya tersenyum tipis. “Sejak pertama kali aku menghunus keris untuk berperang, aku sudah tahu bahwa hidupku tidak akan pernah tenang.”
Sari menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baik. Aku akan membantumu.”
Mereka saling berpandangan dalam kesunyian. Lalu, tanpa banyak kata, mereka bergerak turun, menembus kegelapan malam menuju desa.
Di rumah Pak Mulyo, beberapa pemuda sudah berkumpul. Wajah mereka tegang, tetapi ada api kecil yang mulai menyala di mata mereka. Mereka sudah terlalu lama dipaksa tunduk.
Gamawijaya berdiri di hadapan mereka.
“Belanda telah merampas tanah kita, memeras hasil panen kita, dan membuat kita kelaparan di tanah sendiri. Kita bisa terus menjadi budak, atau kita bisa melawan.”
Seorang pemuda bertubuh tegap, Ganda, mengepalkan tangannya. “Tetapi bagaimana kita bisa melawan? Kita hanya petani biasa. Mereka punya senjata, pasukan.”
Gamawijaya mengangguk. “Itulah sebabnya kita tidak akan melawan mereka dengan cara yang sama. Kita tidak bisa menang dalam perang terbuka. Tapi kita bisa menjadi bayangan yang menghantui mereka.”
Pak Mulyo mengangkat alis. “Maksudmu?”
Gamawijaya tersenyum tipis. “Kita akan menjadi kecu.”
Ruangan menjadi hening. Kata itu—kecu—memiliki makna khusus dalam budaya Jawa. Artinya begal, perampok. Tetapi bukan sembarang perampok. Kecu adalah mereka yang mencuri dari penguasa yang menindas dan membagikan hasilnya kepada rakyat.
Ganda menatapnya ragu. “Jadi… kau ingin kita menjadi begal?”
Gamawijaya mengangguk. “Kita tidak mencuri untuk memperkaya diri sendiri. Kita akan mengambil kembali apa yang dirampas dari kita. Kita akan menyerang rombongan pajak, merampas uang mereka, lalu membagikannya kepada rakyat yang kelaparan.”
Mata Sari berbinar. “Kita membuat mereka merasa tidak aman di tanah yang mereka rampas.”
Pak Mulyo mengusap janggutnya. “Ini berbahaya… tapi ini juga satu-satunya cara.”
Satu per satu, pemuda-pemuda itu mengangguk. Api perlawanan mulai berkobar dalam diri mereka.
Malam itu, sumpah diikrarkan.
Gamawijaya dan kelompoknya resmi menjadi bayangan yang akan menghantui penjajah.
Dua minggu kemudian, jalanan yang menghubungkan distrik Ambal dan Panjer mulai dipenuhi ketakutan.
Rombongan pengumpul pajak yang biasanya melintas dengan angkuh kini bergerak dengan waspada.
Kuda-kuda mereka berlari lebih cepat, mata para penjaga terus mengawasi sekeliling.
Sebab dalam beberapa pekan terakhir, mereka telah kehilangan empat gerobak pajak.
Serangan pertama terjadi di hutan kecil dekat perbatasan desa.
Saat itu, malam baru saja turun.
Empat penjaga bersenjata mengawal gerobak kayu berisi hasil panen yang telah dipaksa dari para petani.
Tanpa mereka sadari, bayangan-bayangan mengintai di antara pepohonan.
Saat gerobak mencapai jalan paling sepi, sekelompok pria bertopeng melompat keluar dari semak-semak.
Dengan gerakan cepat, mereka menebas tali kendali kuda, membuat kendaraan itu terhenti mendadak.
Seorang penjaga mencoba mencabut senapannya, tetapi sebelum sempat mengarahkannya, sebilah keris sudah menempel di lehernya.
“Turunkan senjatamu.” Suara Gamawijaya terdengar dingin.
Penjaga itu ragu, tetapi melihat rekan-rekannya sudah lebih dulu dilumpuhkan, ia akhirnya menyerah.
Dalam hitungan menit, gerobak itu menjadi milik mereka.
Sari, yang ikut dalam aksi itu, membuka peti-peti berisi padi dan uang pajak. Ia tertawa kecil. “Lihat ini. Makanan untuk rakyat yang mereka curi.”
Ganda bersiul. “Ini lebih dari cukup untuk memberi makan satu desa.”
Gamawijaya menatap hasil rampasan mereka dengan mata tajam. “Kita bagikan. Tapi hati-hati. Kita harus tetap jadi bayangan. Jika ada yang tahu siapa kita, mereka akan datang memburu.”
Dalam senyap, mereka membawa hasil jarahan ke desa-desa miskin. Setiap keluarga mendapatkan sekantong beras dan segenggam koin perak.
Dan begitulah, dalam hitungan minggu, nama mereka mulai beredar di antara rakyat.
Mereka dipanggil Maling Aguna—pencuri yang bermanfaat.
Tetapi bagi pemerintah kolonial, mereka adalah ancaman.
Di kantor residen Belanda di Panjer, seorang perwira kolonial menggebrak meja.
“Apa yang kalian lakukan?!” suaranya bergemuruh. “Empat gerobak pajak dalam sebulan! Kalian pikir ini main-main?!”
Seorang kepala pasukan menunduk. “Maaf, Tuan. Mereka bergerak terlalu cepat. Kami tidak tahu dari mana mereka datang.”
Sang perwira menggeram. “Kalau begitu, temukan mereka! Aku tidak peduli bagaimana caranya. Aku ingin kepala pemimpin mereka.”
Malam itu, sayembara diumumkan.
Siapa pun yang bisa menangkap atau membunuh Gamawijaya, akan mendapatkan seribu gulden emas.
Gamawijaya kini bukan hanya bayangan di Urut Sewu.
Ia adalah buronan paling dicari di tanah Ambal.
(Bersambung ke seri ke-5: Dendam Belanda dan Sayembara Penangkapan)