Rabu, Februari 26, 2025
No menu items!

Forza Gamawijaya (5): Dendam Belanda dan Sayembara Penangkapan

Must Read


Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Di sudut timur kantor residen Belanda di Panjer, selembar kertas pengumuman tertempel di dinding batu. Huruf-huruf besar yang dicetak dengan tinta hitam menyatakan sesuatu yang membuat banyak mata berbinar.

“Sayembara Penangkapan: Gamawijaya, Buronan Nomor Satu di Tanah Ambal.
Hadiah Seribu Gulden Emas bagi yang menangkapnya, hidup atau mati!”

Dalam hitungan jam, kabar itu menyebar ke seluruh wilayah pesisir selatan. Para pemburu bayaran, tentara bayaran, dan orang-orang yang haus kekayaan mulai mengasah senjata mereka. Bahkan, para bangsawan yang selama ini diam mulai tergiur.

Salah satunya adalah Raden Ngabehi Mangunprawira.

Sebagai seorang keturunan bangsawan Mataram yang bekerja untuk kolonial, Mangunprawira selalu merasa dirinya ditakdirkan untuk kejayaan. Namun, di mata pejabat Belanda, ia hanyalah seorang abdi yang belum membuktikan dirinya.

Sayembara ini adalah kesempatan emas.

Jika ia berhasil menangkap Gamawijaya, kedudukannya di hadapan Gubernur Jenderal akan meningkat.

Ia bisa mendapatkan wilayah kekuasaan sendiri, bahkan mungkin diangkat sebagai adipati.

Maka, dengan penuh ambisi, ia mulai menyusun rencana.

Sementara itu, di sudut lain Urut Sewu, Gamawijaya duduk bersila di sebuah rumah panggung kecil.

Di hadapannya, Pak Mulyo dan beberapa orang kepercayaannya menggelar pertemuan.

“Belanda semakin marah,” kata Pak Mulyo sambil meletakkan pengumuman sayembara di atas lantai. “Mereka tidak akan berhenti sebelum menangkapmu.”

Gamawijaya membaca tulisan itu dengan tenang. “Aku sudah memperkirakan hal ini.”

Ganda, yang duduk di sudut ruangan, bersungut-sungut. “Mereka benar-benar ingin kepalamu. Seribu gulden! Itu jumlah yang bisa membuat banyak orang mengkhianati kita.”

Sari, yang duduk di samping Gamawijaya, menatapnya cemas. “Kita harus lebih hati-hati. Akan ada banyak mata-mata yang mengincar kita.”

Gamawijaya mengangguk. “Itu sebabnya kita harus mengubah cara kita bergerak. Kita tidak bisa lagi hanya menyerang gerobak pajak. Kita harus memperluas jaringan kita, menanam orang-orang di dalam sistem mereka.”

Pak Mulyo mengangkat alis. “Maksudmu?”

Gamawijaya tersenyum samar. “Kita butuh informasi dari dalam. Jika kita tahu ke mana mereka akan mengirim pasukan sebelum mereka bergerak, kita bisa menghindari jebakan dan bahkan menyerang balik.”

Pak Mulyo terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Aku tahu seseorang yang bisa membantu kita.”

Malam itu, mereka mulai merancang strategi baru.

Sementara itu, Mangunprawira tidak tinggal diam.

Ia mengumpulkan pasukan bayaran, para prajurit yang dulu pernah bertempur melawan pasukan Diponegoro tetapi kini mengabdikan diri kepada kolonial.

Ia juga menyebar mata-mata ke desa-desa sekitar, mencari siapa saja yang memiliki hubungan dengan Gamawijaya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan jejak pertama.

Seorang lelaki tua yang pernah melihat Gamawijaya di pasar ditangkap dan diinterogasi.

Di bawah tekanan dan ancaman, lelaki itu akhirnya memberikan petunjuk tentang beberapa desa tempat Gamawijaya sering bersembunyi.

Di malam yang gelap, sekelompok prajurit kolonial menyusup ke salah satu desa di perbatasan Ambal.

Mereka bergerak dalam diam, mengitari sebuah rumah kayu kecil yang menjadi tempat persembunyian salah satu orang kepercayaan Gamawijaya.

Tanpa peringatan, pintu rumah itu didobrak.

Jeritan terdengar, diikuti suara benda pecah dan tubuh yang terhempas.

Beberapa orang yang berada di dalam rumah mencoba melawan, tetapi mereka kalah jumlah.

Dalam hitungan menit, tiga orang berhasil ditangkap.

Salah satunya adalah seorang pemuda bernama Wiro, salah satu kurir Gamawijaya.

Mangunprawira sendiri yang menginterogasinya.

“Di mana Gamawijaya?” tanyanya dengan suara dingin.

Wiro menggertakkan giginya. “Aku tidak tahu.”

Mangunprawira tersenyum tipis. Ia menepuk bahu Wiro, lalu berbisik, “Jika kau tidak mau bicara, mungkin keluargamu yang akan bicara.”

Wiro menahan napas. Ia tahu ancaman itu bukan sekadar gertakan.

Di benaknya, berkecamuk dilema yang mengiris batin.

Apakah ia harus tetap setia, atau mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan keluarganya?

Di sisi lain, Gamawijaya mulai merasakan bahwa sesuatu tidak beres.

Sudah dua hari ia tidak menerima kabar dari Wiro.

Ia merasa ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan.

Lalu, pada malam ketiga, seorang kurir datang dengan napas tersengal.

“Gamawijaya! Wiro tertangkap!”

Seketika, suasana menjadi tegang.

Mata Gamawijaya menyipit. “Apa yang mereka lakukan padanya?”

Kurir itu menelan ludah. “Aku tidak tahu pasti, tetapi ada desas-desus bahwa mereka akan menggunakan keluarganya untuk menekannya agar bicara.”

Gamawijaya menarik napas dalam.

Ia tahu, waktunya semakin sedikit.

Jika Wiro bicara, maka seluruh kelompoknya akan dalam bahaya.

Ia harus bergerak sebelum semuanya terlambat.

Tetapi di saat yang sama, jebakan sudah mulai ditutup perlahan oleh Mangunprawira.

Bayangan perburuan semakin nyata.

Gamawijaya harus memilih—menyelamatkan Wiro atau menjaga rahasia kelompoknya.

Di balik kegelapan, langkah-langkah perburuan semakin dekat.

(Bersambung seri ke-6: Gerilya di Pesisir Selatan)

Bank Indonesia: Muhammadiyah Berkontribusi Signifikan Kembangkan Usaha Syariah

JAKARTAMU.COM | Bank Indonesia (BI) menyampaikan apresiasi mendalam atas kerja sama yang telah terjalin dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah...

More Articles Like This