Sabtu, Maret 1, 2025
No menu items!

Forza Gamawijaya (8): Dilema Seorang Pejuang

Must Read


Oleh: Dwi Taufan Hidayat

ANGIN laut bertiup kencang, menerpa wajah Gamawijaya yang termenung di atas tebing pesisir Ambal. Matanya menatap ombak yang terus menggulung, seakan mewakili pikirannya yang tak menentu. Dalam beberapa bulan terakhir, kelompoknya semakin sering melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda, membakar lumbung-lumbung pajak, dan menakuti pejabat kolonial.

Namun, semakin lama ia bertanya-tanya: apakah ini masih perjuangan atau hanya perlawanan yang semakin mirip dengan kelompok perampok biasa?

“Kang,” suara Ganda memecah lamunannya.

Gamawijaya menoleh. Wajah Ganda terlihat lelah, namun sorot matanya tetap penuh semangat.

“Orang-orang mulai resah,” lanjutnya. “Banyak yang bertanya, sampai kapan kita akan hidup seperti ini? Beberapa dari kita mulai kehilangan arah.”

Gamawijaya terdiam sejenak. Ia paham keresahan itu. Dahulu, mereka berjuang demi kebebasan, demi melawan ketidakadilan. Namun sekarang, semakin sulit membedakan antara perang melawan penjajah dan sekadar bertahan hidup sebagai buronan.

“Sampai Belanda pergi,” jawab Gamawijaya akhirnya.

Ganda menghela napas. “Kita tahu itu hampir mustahil, Kang. Bahkan Pangeran Diponegoro pun akhirnya tertangkap. Apa yang kita lakukan sekarang benar-benar masih perjuangan atau hanya pelarian?”

Gamawijaya menatapnya tajam. “Kau meragukanku, Ganda?”

Ganda menggeleng cepat. “Bukan itu maksudku, Kang. Tapi… aku takut kita mulai kehilangan tujuan. Beberapa orang di kelompok kita lebih tertarik pada harta rampasan dibanding perjuangan. Dan ada rumor… bahwa seseorang telah menjual informasi tentang kita kepada Mangunprawira.”

Jantung Gamawijaya berdegup lebih cepat. “Siapa?”

Ganda ragu. “Belum jelas, tapi aku mendengar ada yang diam-diam bertemu dengan orang-orang Mangunprawira di pasar.”

Gamawijaya mengepalkan tangan. Pengkhianatan di tengah kelompoknya sendiri? Ini bisa menjadi malapetaka.

Di tempat lain, di pendopo Kadipaten Ambal, Mangunprawira duduk bersama Kapten Van Hoorn, menatap peta yang terbentang di meja.

“Sumber kita mengatakan bahwa Gamawijaya semakin goyah,” kata Mangunprawira dengan senyum tipis.

Van Hoorn mengangguk. “Bagus. Seorang pemimpin yang ragu akan mudah dijatuhkan. Kita harus segera bertindak.”

Malam itu, Gamawijaya tidak bisa tidur. Ia tahu, semakin lama mereka bertahan, semakin besar risiko dihancurkan dari dalam.

Kini, ia harus memilih: tetap bertahan dengan cara lama, atau mencari jalan baru untuk perjuangan mereka.

(Bersambung seri ke-9: Pengepungan di Urut Sewu)

CERPEN: Cinta dalam Jebakan

Oleh: Dwi Taufan Hidayat Hujan turun deras, menghantam aspal dengan suara ritmis yang melankolis. Fajar duduk di dalam mobilnya,...

More Articles Like This