JAKARTAMU.COM | Pada 10 November lalu, Garin Nugroho diminta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyampaikan Pidato Kebudayaan. Ia menyajikan pidato bertajuk “Balas Budi untuk Rakyat“.
Dalam kesempatan itu, Garin menyampaikan beberapa bentuk salam. Salah satunya adalah: “Selamat datang, Warganet.“
“Salam pertama ini, saya sampaikan tidak dengan menyapa ‘warga negara’, karena 10 tahun belakangan ini penyelenggaraan negara lebih pada bingkai warga yang diperlakukan sebagai warga-net atau netizen, bukan warga negara, maka kehidupan bernegara dikelola dalam hukum serba net dan bukan hukum kewarganegaraan,” dalihnya.
Salam kedua adalah: “Selamat terhibur di era hiburan dan melodrama politik“.
“Salam kedua ini, saya sampaikan mengingat terdapat kecenderungan berbagai aspek penyelenggaraan negara ketika masuk dalam era media sosial dan hiburan,” katanya.
Menurutnya, pemerintahan bukan lagi sebagai penyelenggaraan oleh pemerintahan. Akan tetapi, mengutip Clifford Geertz yang meneliti perilaku raja-raja Jawa-Bali abad ke-19 yang tersimpulkan dalam bukunya Negara Teater: “Negara bukanlah pemerintahan, melainkan sebuah pertunjukan yang terorganisasi dan mendramatisasi obsesi-obsesi kelas-kelas yang berkuasa.“
Salam ketiga adalah: “Selamat datang, koalisi untuk balas budi dukungan ekonomi dan politik“.
Salam ketiga ini, merujuk berbagai berita khususnya di saat pemilu dan seleksi kabinet. Kata “koalisi untuk balas budi“ merujuk pada dukungan politik dan ekonomi yang begitu populer.
Padahal, prestasi pemimpin negarawan mengandung dua kemampuan laku politik, yakni di satu sisi mampu mengelola koalisi dukungan politik dan ekonomi untuk meraih, mempertahankan dan menstabilkan kekuasaan dan di sisi lain adalah kemampuan politik untuk koalisi dengan rakyat sebagai balas budi wakil rakyat.
Sekiranya koalisi hanya pada dukungan politik dan ekonomi, sesungguhnya bukanlah pemimpin unggul. Terlebih dukungan tersebut disertai penyanderaan hukum dan cara-cara politik tanpa etika.
“Selamat datang, pemerintahan baru Bapak Presiden Prabowo dan kabinetnya.“
Dalam sebuah obrolan setelah pelantikan presiden, Presiden Prabowo mengatakan lagu kegemarannya adalah “One Moment in Time“, atau dengan kata lain, kemampuan membuktikan dalam satu kesempatan, juga membuktikan kecintaan pada bangsa ketika kini menjadi Presiden.
Bahkan dalam obrolan itu, Presiden Prabowo menegaskan “Saya tidak ingin rakyat Indonesia menderita.“
Perlu kita catat bahwa hasil survei indikator politik pada tingkat kepercayaan publik mencapai 84-85%. Hal ini mencerminkan sebuah kepercayaan rakyat yang tinggi serta menuntut balas budi bagi daya hidup warga.
Kata “One Moment in Time“ ini dan kepercayaan yang tinggi menjadikan lahirnya pertanyaan sederhana, “Mampukah pemerintahan baru melakukan koalisi dengan rakyat sebagai jalan balas budi untuk rakyat, bukan hanya koalisi kelas balas budi pendukung kekuasaan dan ekonomi?”
Tentang Garin Nugroho
Garin lahir pada 6 Juni 1961. Ia memulai karier sebagai pembuat film pada 1981, menyutradarai film pendek dan dokumenter.
Garin lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada 1985 dengan gelar film dan kemudian memperoleh gelar hukum dari Universitas Indonesia pada 1992.
Lahir dari keluarga seniman, ayahnya adalah seorang penerbit dan penulis, kakak laki-lakinya, Hendrawan Riyanto, adalah seorang perupa kontemporer di eranya, dan putri sulungnya, Kamila Andini, adalah seorang sutradara berprestasi.
Garin Nugroho, sosok penting dalam sinema Asia Tenggara, telah menggunakan film untuk mengungkap kompleksitas masyarakat Indonesia. Sebagai pelopor gerakan film Indonesia pasca-1990, ia menghidupkan kembali industri film selama krisis ekonomi 1998.
Film-filmnya, seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1994), dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995), telah mendapatkan pengakuan internasional di festival-festival film bergengsi.
Film-filmnya telah memikat baik penonton nasional maupun internasional, menginspirasi generasi baru pembuat film Indonesia.
Karyanya, Daun di Atas Bantal (1998) dan Serambi (2005), keduanya dinominasikan untuk Un Certain Regard di Festival Film Cannes.
Garin juga menciptakan Opera Jawa (2006) untuk perayaan 250 tahun Mozart oleh pemerintah Austria. Eksplorasi artistik Garin Nugroho tidak hanya terbatas pada film, tetapi juga mencakup seni pertunjukan, tari, dan seni visual.
Instalasi seninya telah dipamerkan di galeri-galeri bergengsi di seluruh dunia, termasuk Haus der Kunst di Munich, Jerman, dan Trans Figurations Mythologies Indonesiennes, Pameran Louis Vuitton di Paris.
Eksplorasi pada film pun beragam, melalui film bisu Setan Jawa (2017) dengan komposisi musik yang dimainkan oleh orkestra terkenal seperti Melbourne Symphony Orchestra, Netherlands Chamber Orchestra, dan Berlin Radio Symphony Orchestra.
Film bisu terbarunya, Samsara (2024), telah diputar di Esplanade, Singapura, dan Festival Indonesia Bertutur di Bali, dengan rencana pemutaran di berbagai venue internasional seperti Arts Centre Melbourne.
Ia juga menjadi juri di berbagai festival film bergengsi seperti La Biennale Venice – Orizzonti, Busan International Film Festival, Tokyo Film Festival, Dubai Film Festival, dan Kolkata International Film Festival.
Selain kegiatan artistiknya, Garin Nugroho juga telah menulis beberapa buku non-fiksi, termasuk Kekuasaan dan Hiburan (1998), Seni Merayu Massa (2005), dan Negara Melodrama (2019), yang mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik.
Selain itu, ia aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik, lewat program “Visi Anak Bangsa” dan menjadi koordinator media NGO selama krisis ekonomi 1998 dan tsunami Aceh 2006. Garin Nugroho terus membina generasi baru film melalui lokakarya dan festival film di seluruh Indonesia.
Ia mendirikan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), yang telah menginspirasi gelombang baru pembuat film di Yogyakarta dan menjadikan Jogja sebagai kota film yang berkembang.