JAKARTAMU.COM | Sutradara, penulis skenario, dan produser film Garin Nugroho menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk “Balas Budi untuk Rakyat” di Taman Ismail Marzuki, pada Jakarta 10 November lalu. Salah satu hal yang ia sampaikan adalah pengalamannya saat melakukan kunjungan di berbagai negara dan hasil riset yang dia lakukan.
Berikut petikan sebagian isi pidato tersebut:
Tahun 1987, saya melakukan riset untuk film dokumenter tentang Walter Spies dan Raden Saleh (bersama stasiun televisi WDR-Jerman). Saya menemukan lukisan “Karusel” karya Walter Spies di Museum Dresden, kemudian mengunjungi rumah Raden Saleh di Dresden.
BACA JUGA: Garin Nugroho: Politik Bukanlah Panggung Drama
Di sana, saya menemukan berbagai sketsa yang mengisahkan perjalanan Raden Saleh pada awal abad ke-19, ketika fotografi masih mahal dan film belum populer.
Saya kemudian menyadari bahwa sketsa-sketsa dan lukisan Raden Saleh merupakan bagian penting yang memungkinkan warga dunia untuk membayangkan Nusantara.
Sketsa buah tropis, pohon bambu, hingga gunung, bukit, dan sungai yang menjadi materi pelajaran di sekolah pertanian, membawa dunia membayangkan Nusantara serta mendorong perjalanan bangsa-bangsa Barat ke Nusantara.
Dengan kata lain, di balik warisan budaya berupa lukisan, berbagai artefak, dan bentuk seni lainnya, terdapat nilai tinggi yang mampu mengubah dan memajukan peradaban.
Sebuah aspek yang seringkali tidak dinilai dalam politik yang banal saat ini.
Ketika karya instalasi saya ditampilkan dalam pameran di Louis Vuitton Paris bersama para perupa Indonesia dengan tajuk “Trans Figurations. Mythologies Indonesiennes“ (2011), Direktur a l’Espace culturel Louis Vuitton menunjukkan motif kain kawung yang menjadi simbol Louis Vuitton di setiap outletnya.
BACA JUGA: Garin Nugroho Sebut 10 Tahun Jokowi Hanya sebagai Mandor
Demikian juga, ketika melakukan riset-riset keliling Nusa Tenggara Timur hingga Papua untuk karya teater tari “The Planet – A Lament (2020)“, saya menemukan berbagai warisan budaya yang mampu menembus panggung-panggung dunia tersebut.
Daya hidup warisan budaya juga terbaca ketika saya menyaksikan teater I La Galigo yang diambil sumbernya dari sastra terpanjang Sulawesi atau melihat Teater Lion King, sutradaranya beberapa tahun berkelana di Indonesia untuk menemukan sumber-sumber inspirasi.
Pada sisi lain, saya juga memperhatikan ekosistem kesenian dan kebudayaan, ketika dalam pemutaran film-film karya saya di berbagai festival dunia, seperti Berlin Film Festival, Cannes, Venice, atau Busan.
Sesungguhnya bagi saya deretan festival ini tidak sekadar festival, tetapi menunjukkan bahwa kebangkitan peradaban sering muncul justru di tengah situasi krisis dan kemandegan visi.
Sebut saja Venice International Film Festival (1932) yang lahir di tengah era krisis Eropa. Demikian juga, tumbuh-kembangnya industri kreatif seperti drama Korea (drakor).
Gelombang ini tidak dibangun dengan langsung membidik pasar massa, melainkan dibuat dengan membangun sumber daya manusia unggul, dengan profesionalisme yang matang dan mumpuni, dan strategi untuk menumbuhkan selera pasar.
BACA JUGA: Garin Nugroho: 10 Tahun Kita Diperlakukan sebagai Warganet, Bukan Warga Negara
Salah satu kisah inspiratif adalah tumbuhnya kesenian pada era kepemimpinan Ali Sadikin yang dengan tegas menyatakan bahwa Taman Ismail Marzuki (TIM) bukanlah sekadar sarana untuk mencari keuntungan finansial, melainkan sebagai pusat moral dan kultural yang menjadi fondasi utama sebuah ibu kota beradab.
Dengan demikian, Ali Sadikin memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan dewan kesenian dengan fasilitas, institusi, administrasi, serta kebebasan visi dan implementasi yang memadai.
Berkat upaya tersebut, TIM berhasil menjadi salah satu ikon kota Jakarta yang memenuhi syarat sebagai kota beradab.
Ironisnya, kepemimpinan ekonomi dan politik negeri ini, ketika dituntut untuk melakukan suatu progres terkait kualitas, sering menjawab dengan kata-kata “selera pasar”, atau “data” menunjukkan tingkat pendidikan kita masih rendah dan masih terfokus pada ekonomi.
Kala ini, mereka cenderung mengajukan pertanyaan retoris, “Rakyat lapar bagaimana mau menonton pertunjukan berkualitas?”
Ini adalah sebuah ilustrasi kepemimpinan bangsa yang kalah.
Perjalanan lain yang memberi inspirasi adalah berkunjung ke museum dan galeri di Amerika (1989).
Dalam sebuah diskusi, salah seorang penyelenggara museum mengatakan, “Ketika anak-anak melihat pameran teater, lukisan, atau artefak warisan budaya di museum, bukanlah tujuan kita untuk mengajak anak kecil menjadi seniman, tetapi mengasah kemampuan anak untuk mengalami berbagai perasaan manusia, agar ketika menjadi pemimpin, mereka mampu membangun ruang hidup atas dasar kemanusiaan.
BACA JUGA: Garin: Andai Pancasila Dirumuskan Politisi Saat Ini Tak Akan Lahir Seutuhnya
Demikian juga, ketika sejak dini anak-anak dibiasakan mengunjungi museum sains dan teknologi, secara langsung atau tidak langsung mereka akan dibekali etos penemuan dan semangat perubahan.
Dengan kata lain, menjadi kewajiban negara untuk membangun ruang publik yang mampu membekali anak sejak dini dengan estetika, sains, dan teknologi sebagai dasar tumbuh kembangnya manusia unggul.”
Kisah lain yang memprihatinkan, bangsa ini tidak mampu mengelola momentum perubahan seperti era reformasi. Periode pasca-1998, saya diminta menjadi koordinator NGO media untuk pemilu seluruh Indonesia oleh USAID.
Pekerjaan dimulai dengan presentasi saya di Parlemen Amerika dan kemudian mengelola upaya bangunan baru berkait ekosistem media untuk demokrasi. Namun selalu terulang, awalnya penuh upaya ekosistem media yang demokratis, tapi kemudian dikalahkan oleh kekuasaan ekonomi dan politik banal.
BACA JUGA: Garin: Strategi Budaya Tjokroaminoto Mewujudkan Imajinasi Negara Bangsa