JAKARTAMU.COM | Sutradara, penulis skenario, dan produser film Garin Nugroho menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk “Balas Budi untuk Rakyat” di Taman Ismail Marzuki, pada Jakarta 10 November lalu. Salah satu hal yang ia soroti adalah ekosistem yang terus berubah.
Berikut petikan sebagian isi pidato Garin Nugroho tersebut:
Saya sungguh beruntung dapat mengalami ruang hidup dalam perspektif revolusi industri 1.0-4.0, dari kapal uap, telegram, listrik, komputer, hingga era digital.
Saya bisa tertawa, hidup, berkreasi, dan berkarir dalam ekosistem yang terus berubah.
Perubahan-perubahan ekosistem ini menuntut saya untuk terus menjelajah sekaligus menemukan strategi budaya personal agar karya-karya saya tetap hidup.
Menariknya, setiap perubahan selalu dibarengi dengan ucapan yang mengunggulkan generasi masing-masing, seperti “Generasi kami adalah generasi televisi, jika tidak mengikuti televisi, pasti tidak hidup”, atau sekarang, “Kami generasi milenial atau kami generasi Gen Z…”
BACA JUGA: Garin Nugroho Sebut 10 Tahun Jokowi Hanya sebagai Mandor
Bagi saya, di tengah dinamika perubahan era 1.0-5.0, hal terpenting bagi sebuah bangsa adalah adanya strategi kebudayaan untuk menangkap aspek produktif dan nilai-nilai unggul dari setiap fase revolusi industri, sekaligus mengurangi aspek kontraproduktif yang dapat menurunkan nilai kemanusiaan.
Mengingat hukum klasik yang menyatakan bahwa manusia mampu menciptakan teknologi yang terus berkembang, sering kali justru tidak dapat memprediksi secara detail dampaknya terhadap manusia dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, tugas pemimpin dan penyelenggara negara di era Presiden Prabowo adalah melakukan kerja bakti dengan mengelola aspek produktif serta nilai-nilai kemanusiaan unggul di era revolusi industri teknologi 4.0-5.0, sekaligus mengurangi dampak negatif dan kontraproduktif dari era media baru.
BACA JUGA: Garin Nugroho: 10 Tahun Kita Diperlakukan sebagai Warganet, Bukan Warga Negara
Serba-Net
Sesungguhnya di era serba-net ini, tidak ada lagi bangsa di dunia yang mampu mengelak dari dampak serba-net, yakni interconnected network, sebagai jaringan komunikasi global yang menghubungkan komputer dengan komputer seluruh dunia, sering disebut era komputasi.
Bahkan sejarah mencatat, negara seperti Amerika Serikat terjerat dalam kekacauan informasi di media sosial dalam perang komputasi di era Presiden Donald Trump (2017-2021).
Peristiwa ini menjadikan Amerika Serikat menganalisis kembali dan membangkitkan kembali peran media baru bagi negara tersebut.
Sebuah peristiwa yang perlu digarisbawahi adalah ketika pendiri Facebook (juga pemimpin jaringan bisnis Meta dalam bentuknya sebagai Instagram, Threads, dan WhatsApp) di depan Kongres Amerika Serikat, meminta maaf kepada seluruh orang tua di dunia atas dampak negatif Facebook pada anak-anak.
Artinya, di berbagai belahan dunia timbul kesadaran untuk membangkitkan kembali peran internet untuk produktivitas serta sikap kritis warga.
BACA JUGA: Garin: Andai Pancasila Dirumuskan Politisi Saat Ini Tak Akan Lahir Seutuhnya
Bahkan, bangsa-bangsa dunia sudah memulai strategi budaya dengan jargon “diet teknologi” ataupun pembatasan penggunaan media baru bagi usia tertentu, serta kembali melakukan strategi budaya media baru guna membangun manusia dan kemanusiaannya di masa depan.
Sebutlah di beberapa negara Eropa, masyarakat diajarkan kembali menulis dengan baik, restoran-restoran tidak menyediakan internet, dan terdapat ruang bebas dari penggunaan ponsel.
Ironisnya, kenyataan di Indonesia sangat berbeda. Media baru hadir dalam beragam fenomena yang kompleks.
Saya mencoba menguraikannya secara sederhana: Era serba-net hadir bersamaan dengan pemilu langsung yang memerlukan propaganda, pencitraan, dan dukungan suara.
Hal ini melahirkan budaya massa yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara masif, cenderung banal, manipulatif, dan penuh propaganda.
Lebih jauh lagi, bahkan pasukan buzzer hingga influencer ditempatkan sebagai garda depan pemerintahan.
Contohnya, kehadiran mereka terlihat jelas dalam upacara negara hingga Ibu Kota Nusantara.
BACA JUGA: Garin: Strategi Budaya Tjokroaminoto Mewujudkan Imajinasi Negara Bangsa
Era media baru hadir di era post-truth di tengah rendahnya literasi media. Era ketika batas antara benar dan salah menjadi kabur, fiksi dan fakta campur aduk di ruang publik, menjadikan publik kehilangan panduan nilai-nilai keutamaan berbangsa, bahkan menjadi pameran kekuasaan tanpa etika dan penormalan nilai-nilai yang melawan hukum.
Era media baru disertai bonus demografi usia muda, 70% yang akrab dengan segala jenis media baru, menjadikan Indonesia pasar besar media baru.
Sebut saja jumlah ponsel dua kali lipat jumlah penduduk, dan pelanggan internet masuk dalam lima besar dunia.
Berlimpah ruahnya media baru tanpa strategi budaya, yakni strategi berpikir, bertindak, dan bereaksi terhadap era media baru untuk menjaga dan menumbuhkan generasi baru yang melek teknologi, kritis, sehat, dan produktif, adalah suatu ironi.
Dalam euforia generasi digital, keamanan siber tidak menjadi prioritas sebagai dasar sebuah era serba-net.
Kita tahu kasus jebolnya data-data penting di institusi penting bangsa. Padahal, semestinya pada era serba-net, salah satu keunggulan persaingan antarbangsa adalah pada kepemilikan dan pengolahan data.
Peraturan hukum pun tidaklah berbasis pada strategi budaya, melainkan lebih pada aspek perdagangan, keamanan, dan stabilitas politik.
Panggung Drama
Era serba-net hadir di puncak industri hiburan, sehingga segala-galanya menjadi hiburan dan ukurannya adalah seberapa viral dengan jumlah pengikut tertinggi.
BACA JUGA: Garin: Saatnya Kebudayaan Menjadi Panglima Bersama Ekonomi dan Politik
Pemerintahan layaknya drama seri melodrama, serba gampang, mengedepankan stereotipe, penuh kejutan, dan kepemimpinan dikelola layaknya diva.
Akibatnya, hampir seluruh penyelenggaraan negara terasa tidak lagi seperti penyelenggaraan pemerintahan, melainkan organisasi hiburan dan konten dengan ambisi kekuasaan.
Bahkan, para elite politik layaknya seperti pemain drama, di depan panggung dan di belakang panggung bisa berbeda karakter.
Padahal, politik bukanlah panggung drama. Seorang politikus di belakang dan di depan panggung harus konsisten dalam kata dan perbuatan.
Catatan di atas merujuk pada kenyataan bahwa ekonomi dan politik, ketika dijadikan sebagai prioritas utama tanpa diimbangi dengan strategi budaya, menyebabkan warga negara kehilangan hak-haknya yang tercantum dalam undang-undang.
Warga negara kemudian diubah menjadi “warganet” yang tunduk pada hukum dan aturan dunia maya. Bahkan, peran warga negara digantikan oleh istilah-istilah seperti “warga buzzer”, “influencer/ pemengaruh”, dan “warga algoritma”.
BACA JUGA: Rapor Merah Indonesia, Garin: Mampukah Pemerintah Berkoalisi dengan Rakyat?
Lebih jauh lagi, warga negara seakan-akan hanya dianggap sebagai konsumen dan objek hiburan, layaknya fenomena pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol), tidak ada perlindungan oleh negara bagi mereka yang terjebak dalam arena platform tersebut, sementara kepemimpinan negara cenderung bersifat otoriter dan karismatik.
Oleh karena itu, sebagai bentuk balas budi, pemerintah baru harus mengembalikan hak-hak warga negara untuk menjadi masyarakat sipil yang kritis, terbuka, produktif, terlindungi, dan sejahtera sesuai dengan amanat undang-undang.