Oleh: Joko Sumpeno, Jurnalis Senior Jakartamu.com
PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto telah memanggil 109 orang tokoh yang bakal dijadikan menteri dan wakil menteri. Akankah ia mengulang sejarah Kabinet 100 Menteri gaya Sukarno di Orde lama?
Pasca peristiwa G30S/PKI 1965, situasi politik dan ekonomi di tanah air mengalami turbulensi hebat. Bukan sekadar pro dan kontra terhadap pengkhianatan PKI dengan ikutan pembunuhan massal khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi juga serbuan demonstrasi mahasiswa dan massa kekuatan anti-PKI yang tiada henti sepanjang tiga bulan awal 1966.
Harga pangan dan sandang kian mencekik. Konflik horizontal meluas bagai bara api dalam sekam. Kekuatan Angkatan Bersenjata menunjukkan disintegrasi baik antar-keempat angkatan (Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian) maupun di internal Angkatan Darat.
Bung Karno yang tiada tandingan sejak 1959-1966 dengan Demokrasi Terpimpinnya, mulai tersudut. Namun, pemerintah Soekarno terus mencoba mengendalikan situasi dengan pidato-pidato dan penggalangan massa dan angkatan bersenjata. Secara kuantitatif, sesungguhnya Bung Karno masih kuat dan jelas mendominasi wacana hingga tiga bulan pertama 1966.
Kesatuan Aksi Mahasiswa yang dianggap biang demonstrasi dengan Tritura (Turunkan harga pangan, Rombak Kabinet Dwikora dan Bubarkan PKI dan Ormas-ormasnya) justru dibubarkan oleh Bung Karno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS. Kharisma dan arahan politiknya masih menggema dan berwibawa.
Kabinet Dwikora yang dilantik pada 24 Februari 1966 berjumlah 132 Menteri dan atau Lembaga/Badan setingkat Kementerian, hanya berusia kurang dari dua bulan.
Pasca dibubarkannya PKI pada 12 Maret 1966, Kabinet dirombak lagi menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Pertarungan politik hingga fisik antara kaum pejah Gesang nderek Bung Karno yang dikomandoi melalui pidato JasMerah 17 Agustus 1966, kian meluas dan mengancam perang saudara.
Inilah pidato terakhir Bung Karno sejak Konsepsinya 1957 yang didukung Angkatan Darat mengeliminasi partai politik hingga jatuhnya Bung Karno digantikan Jenderal Soeharto melalui pertarungan politik 1966-1968. Itulah kemudian disebut Orde Baru yang berfokus diri pada ekonomi menggantikan Orde Lama yang dianggap menelantarkan ekonomi.
M.C. Ricklefs menarasikan: Banyak pengamat telah menyaksikan peristiwa yang menyedihkan pada kurun waktu itu, terutama tragedi Soekarno, orang yang hidup lebih lama daripada zamannya dan memanfaatkan dukungan rakyatnya untuk mempertahankan suatu rezim korupsi dan kemunafikan yang amat berlebihan.
Akan tetapi, tragedi yang jauh lebih berat terletak dalam penderitaan rakyat Indonesia.
“Negara ini sedang mengkonfirmasi, apakah peristiwa masa lalu itu tidak mampu menjadi pelajaran.”
Terulangkah kini, atas nama persatuan dengan menjaga stabilitas ipoleksosbud, presiden terpilih 2024 menyusun kabinet 109 menteri plus kepala badan setingkat menteri? Pertanyaan ini diajukan di hadapan sejarah yang sedang disusun. Bukankah sejarah adalah politik yang telah terjadi dan politik adalah proses yang sedang menyejarah?
Negara ini sedang mengkonfirmasi, apakah peristiwa masa lalu itu tidak mampu menjadi pelajaran. Lihatlah glorifikasi rezim dengan alasan sekian kesuksesan 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi yang katanya untuk persatuan demi kemajuan Indonesia berkolaborasi dengan Prabowo Subianto sejak lima tahun terakhir ini mengantar ke puncak kuasa negeri.
Ketika persatuan yang dicita-citakan itu mengalami romantika, dinamika dan dialektikanya, jangan heran jika di kemudian hari perpecahan baru muncul di sana-sini.
Pengerahan 109 orang ternama dalam kabinet, boleh jadi dilatarbelakangi semangat berbagi kekuasaan seraya merajut kerukunan. Dilengkapi upaya penghapusan dosa politik para pelaku tragedi sejarah republik ini.
Padahal, apa pun yang seharusnya ingin dicapai akan sia-sia dengan penghapusan yang bernada citra semata. Sebab, sesuatu yang dihapus justru malah akan menebalkan ingatan sejarah padanya.
Terlepas dari itu semua, seyogyanya kita mendoakan yang terbaik agar polemik antara baik-baik saja dan tak baik -baik ini menemukan jawaban terbaiknya atas ridha Illahi Robbi. Aamiin. (*)