JAKARTAMU.COM | Gedung Batu, yang lebih dikenal sebagai Kelenteng Sam Poo Kong, merupakan salah satu situs bersejarah dan religius terpenting di Semarang, Jawa Tengah. Terletak di daerah Simongan, kelenteng ini tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi umat Tridharma (Buddha, Tao, dan Konghucu), tetapi juga simbol akulturasi budaya antara Tionghoa dan Jawa.
Sejarah Singkat
Asal-usul Kelenteng Sam Poo Kong berkaitan erat dengan perjalanan Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah Muslim asal Tiongkok pada abad ke-15. Sekitar tahun 1406, Cheng Ho bersama armadanya singgah di pesisir utara Jawa dalam ekspedisi maritimnya. Selama persinggahan tersebut, salah satu awak kapal, Wang Jing Hong, jatuh sakit dan harus dirawat di sebuah gua di daerah Simongan. Gua inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kelenteng Sam Poo Kong. Setelah sembuh, Wang Jing Hong memutuskan untuk menetap dan menyebarkan ajaran serta budaya Tionghoa di wilayah tersebut. Masyarakat setempat kemudian membangun tempat ibadah sebagai penghormatan kepada Laksamana Cheng Ho dan Wang Jing Hong. Nama “Sam Poo Kong” sendiri berasal dari bahasa Tionghoa “San Bao Dong” yang berarti “Gua Tiga Perlindungan”.

Arsitektur dan Kompleks Bangunan
Kelenteng Sam Poo Kong memiliki arsitektur khas Tionghoa dengan sentuhan elemen lokal Jawa. Dominasi warna merah pada bangunan melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan dalam budaya Tionghoa. Atap kelenteng berbentuk melengkung dengan ornamen naga dan motif awan, menambah keindahan dan keagungan struktur ini. Kompleks kelenteng terdiri dari beberapa bangunan utama, antara lain:
Gua Sam Poo Kong: Merupakan situs utama yang diyakini sebagai tempat Laksamana Cheng Ho bersemedi. Meskipun disebut “gua”, struktur ini lebih menyerupai ruang besar dengan altar di dalamnya.
Kelenteng Thao Tee Kong: Didedikasikan untuk Dewa Bumi, tempat ini digunakan oleh umat untuk memanjatkan doa memohon berkah dan keselamatan.
Kelenteng Kyai Juru Mudi: Dibangun untuk menghormati Wang Jing Hong, juru mudi kapal Cheng Ho yang menetap di Semarang.
Kelenteng Kyai Jangkar: Tempat penyimpanan jangkar kapal Cheng Ho yang dianggap sakral oleh para pengunjung.
Kelenteng Kyai Cundrik Bumi: Menyimpan berbagai senjata tradisional yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Setiap bangunan memiliki fungsi dan makna tersendiri, mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakat Tionghoa di Semarang.

Peran dalam Akulturasi Budaya
Kelenteng Sam Poo Kong menjadi bukti nyata akulturasi antara budaya Tionghoa dan Jawa. Hal ini tercermin dalam berbagai aspek, seperti arsitektur bangunan yang menggabungkan elemen Tionghoa dan Jawa, serta penggunaan bahasa Jawa dalam beberapa ritual keagamaan. Selain itu, kelenteng ini juga menjadi simbol toleransi antarumat beragama, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang dapat beribadah dan berziarah bersama-sama.
Perayaan dan Kegiatan
Setiap tahun, Kelenteng Sam Poo Kong menjadi pusat perayaan berbagai festival budaya dan keagamaan. Salah satunya adalah peringatan kedatangan Laksamana Cheng Ho yang dirayakan dengan meriah oleh masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat. Selain itu, saat perayaan Tahun Baru Imlek, kelenteng ini menyajikan berbagai atraksi seperti barongsai, wayang potehi, dan pertunjukan seni lainnya yang dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Lokasi dan Akses
Kelenteng Sam Poo Kong terletak di Jalan Simongan Raya No. 129, Bongsari, Semarang Barat. Lokasinya strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru kota. Pengunjung dapat menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi umum untuk mencapai situs ini. Selain sebagai tempat ibadah, kelenteng ini juga menjadi destinasi wisata edukatif yang menawarkan wawasan tentang sejarah dan budaya Tionghoa di Indonesia.
Penutup
Gedung Batu atau Kelenteng Sam Poo Kong merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual. Sebagai simbol akulturasi dan toleransi, tempat ini tidak hanya penting bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga bagi seluruh warga Indonesia. Mengunjungi kelenteng ini memberikan pengalaman mendalam tentang harmonisasi budaya dan keragaman yang ada di Nusantara. (Dwi Taufan Hidayat)