MUHAMMADIYAH memiliki pandangan bahwa budaya mencakup pengembangan sistem pengetahuan, pendidikan, serta pemanfaatan waktu luang yang berorientasi pada kemajuan dan kreativitas bangsa. Salah satu kontribusi signifikan terhadap pemikiran budaya dalam Muhammadiyah datang dari makalah Kuntowijoyo berjudul “Kebudayaan, Masyarakat Industri Lanjut, dan Dakwah”.
Makalah ini menekankan bahwa kebudayaan adalah bagian dari fitrah manusia dan mengkritisi kecenderungan Muhammadiyah yang terlalu rasional serta puritan dalam keberagamaan, sehingga berpotensi mengabaikan aspek emosi dan tradisi budaya lokal (PP Muhammadiyah, 1995).
Dalam konteks ini, penting untuk memahami istilah bid’ah yang sering kali dimaknai sebagai sesuatu yang sesat. Dalam kajian linguistik, kata bid’ah berasal dari bahasa Arab bada’a, yang berarti mencipta, memulai, mendirikan, atau membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya (Kamus Al-Munawwiri, hal. 65).
Dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan sesuatu yang baru dapat dianggap sebagai kreativitas dan inovasi. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara bid’ah dalam konteks negatif dan kreativitas dalam dakwah.
Salah satu bentuk kreativitas dakwah yang semakin langka adalah tradisi berbagi menjelang Ramadan, khususnya di masjid-masjid kota besar. Pada akhir bulan Syakban, dalam rangka menyambut Ramadan, beberapa masjid mengadakan kegiatan berbagi makanan antar tetangga dan menyediakan hidangan sederhana bagi masyarakat. Tradisi ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 31:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah ketika memasuki masjid, dan makan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al A’raf: 31)
Menurut Dr. H. Rahmat Hidayat, Sekretaris Jenderal PP Dewan Masjid Indonesia (DMI), ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa makan dan minum di masjid sangat diperbolehkan, selama tidak berlebihan. Jika masjid memiliki anggaran atau dana yang dikumpulkan dari masyarakat, maka kegiatan makan bersama menjelang Ramadan adalah hal yang sangat dianjurkan.
Di Yogyakarta, terdapat tradisi menikmati ketan, kolak, dan apem menjelang Ramadan. Menurut Ustaz Salim Fillah, makanan-makanan ini memiliki makna filosofis yang mendalam dalam budaya Jawa.
Ketan misalnya, melambangkan kraketan atau ngraketke ikatan, yang berarti mempererat tali persaudaraan. Kolak berasal dari kata Arab Khalaqa (menciptakan) atau Khaliq (Sang Pencipta), sebagai pengingat agar selalu dekat dengan Tuhan. Apem pun berasal dari kata Arab Afwan (memohon ampunan) atau Afuan (meminta maaf), sebagai simbol pertobatan dan saling memaafkan.
Sementara masyarakat Betawi memiliki tradisi Nyorog menjelang Ramadan, yaitu mengirim makanan kepada orang tua, guru, atau kerabat sebagai bentuk penghormatan dan mempererat silaturahmi. Makanan yang dikirim biasanya berupa kue, bahan makanan mentah seperti gula, susu, kopi, sirup, beras, ikan bandeng, atau daging kerbau. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menghormati orang tua dan guru serta mempererat hubungan kekeluargaan.
Menghidupkan Kembali Tradisi Dakwah Kultural
Tahun ini, bulan Februari menjadi momen yang tepat untuk menghidupkan kembali tradisi berbagi menjelang Ramadan. Masjid dan musala Muhammadiyah merencanakan kegiatan buka puasa sederhana pada Kamis, 27 Februari 2025, yang bertepatan dengan hari terakhir puasa sunnah di bulan Syakban.
Menu yang disediakan antara lain lontong sayur Betawi dan aneka kue tradisional. Jika memungkinkan, lauk berupa ikan bandeng atau semur daging kerbau juga disediakan.
Para kader muda Muhammadiyah yang memiliki rezeki lebih diharapkan dapat ikut serta dengan mengirimkan bahan makanan seperti kue-kue, kopi, gula, dan teh kepada orang tua dan guru yang telah berjasa mendidik mereka.
Kreativitas dakwah ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan zaman, seperti memberikan paket sembako, mie instan, sirup, atau makanan kaleng seperti bakso, sarden, dan kornet. Dengan demikian, setidaknya pada sahur pertama Ramadan, para orang tua dan guru dapat menikmati hidangan yang istimewa.
Menghidupkan kembali tradisi berbagi menjelang Ramadan bukan hanya sekadar menjaga warisan budaya, tetapi juga sebagai wujud dakwah kultural yang mempererat tali persaudaraan dan kepedulian sosial. Dengan semangat berbagi, kita dapat menjadikan Ramadan lebih bermakna dan penuh keberkahan.