Kamis, Desember 5, 2024
No menu items!

Gerakan Muhammadiyah: Apa Kiai Ahmad Dahlan Meniru Protestan?

Kiai Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang baru beredar luas dalam edisi Inggris tahun 1950-an.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Wartawan Senior di SINDOnews.com dan Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id.

SUKIDI dan Robert W Hefner dalam satu artikelnya bertajuk “Etika Protestan dalam Muhammadiyah” memaparkan cara hidup dan gagasan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Hasil kerja Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya yang terlihat dari beragam kegiatannya – aktivis gerakan ini menyebut berbagai ragam kegiatan Muhammadiyah itu dengan istilah amal-usaha – oleh Hefner disebut luar biasa, tanpa ada yang menyamai.

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868-1923)” bab “Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un” menyebut hubungan kerja sosial Muhammadiyah itu, terutama pendirinya, dengan Etika Protestan, perlu dikaji lebih serius.

Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta..

Demikian pula kesimpulan Sukidi, kata Abdul Munir Mukhan, yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan, perlu ditelaah secara serius.

Abdul Munir Mulkhan menyoroti beberapa gagasan dasar keagamaan Ahmad Dahlan, terutama yang berhubungan dengan pembaruan sosial budaya yang dilakukannya dalam berbagai bentuk amal-usaha dari Gerakan Muhammadiyah.

Kiai Ahmad Dahlan sendiri, katanya, terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Islam Jawa yang ketika itu berada dalam kontrol Penguasa Kolonial.

Sejak sebelum kemerdekaan, Muhammadiyah terlibat aktif dalam Masyumi sebagai anggota istimewa yang selanjutnya dalam dinamika kepartaian dalam beragam bentuk.

Namun, reformasi sosial-budaya gerakan ini terus berlangsung di bawah sinar ide-ide genial pendirinya hampir tanpa contoh dalam sejarah Islam dan pemikiran tokoh pembaharu Islam di berbagai belahan dunia.

Kiai Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang baru beredar luas dalam edisi Inggris tahun 1950-an.

Sementara Weber belum pernah berkunjung ke negeri ini, maka jika terdapat kesesuaian antara gagasan dan praktik keagamaan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan dengan berbagai tesis Weber dan tradisi kaum Calvinis, mungkin hal itu lebih merupakan sebuah “insiden kesesuaian sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.

Hubungan gagasan dan kerja sosial Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya dengan berbagai tesis Max Weber, bisa dilihat dari beberapa fakta historis berikut ini.

Max Weber sendiri lahir pada 1864 dan meninggal pada 1920, sementara Ahmad Dahlan lahir pada 1868 dan meninggal pada 1923, tiga tahun sesudah Weber wafat.

Bagian pertama karya monumental Weber berjudul Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, terbit pertama kali pada 1904, ketika Dahlan sudah pergi haji yang kedua kali (1883 dan 1902).

Ide-ide awal Kiai Ahmad Dahlan sudah muncul beberapa tahun sebelum ia berketetapan hati mendirikan Muhammadiyah yang baru dimintakan izin ke Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 18 November 1912 yang kemudian dijadikan penanda kelahiran organisasi ini.

“Kebenaran Kristiani jangan hanya dikhotbahkan di Gereja, tapi juga perlu disampaikan melalui Masjid agar bisa dipahami pemeluk Islam.”

Kemanusian

Dalam dua dokumen yang telah disebut di atas, Kiai Ahmad Dahlan menyatakan adanya paralelitas tafsir atas Alquran dengan akal suci dan temuan iptek. Karena itu ia menganjurkan umat Islam untuk mempelajari Filsafat bagi pengembangan kemampuan akal suci tersebut.

Agar pengamalan ajaran Islam bisa memecahkan berbagai problem kehidupan duniawi, umat Islam perlu belajar pada pengalaman universal kemanusiaan dari beragam bangsa dan kepemelukan agama.

Dalam satu kesempatan Kiai Ahmad Dahlan bahkan menyatakan kebenaran Kristiani jangan hanya dikhotbahkan di Gereja, tapi juga perlu disampaikan melalui Masjid agar bisa dipahami pemeluk Islam.

Seluruhnya dilakukan bagi upaya penyelamatan kehidupan duniawi seluruh umat manusia di seantero jagat yang ketika itu dipandangnya penuh konflik dan peperangan.

Kondisi demikian merupakan akibat pemimpin Islam enggan belajar dan memandang dirinya sendiri paling benar. Persatuan kemanusiaan hanya mungkin jika seluruh umat manusia di dunia bersatu hati berdasar cinta-kasih di bawah bimbingan Alquran yang dipahami dengan akal suci.

Berdasar pandangannya tersebut Kiai Ahmad Dahlan mengembangkan berbagai amal-usaha dengan “meniru” pengalaman sosial kaum Kristiani di Tanah Air, terutama di daerah Yogyakarta.

Amal-usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan serta penyantunan anak-yatim, kaum miskin, dan kepanduan itulah yang hingga kini terus meluas dan berkembang.

Dari pengalaman kaum Nasrani Kiai Ahmad Dahlan bisa belajar tentang pengembangan kehidupan sosial dan dari tokoh pembaharu Islam, Kiai Ahmad Dahlan lebih banyak mengambil ide rasionalisasi.

Sementara ide-ide pragmatis dan humanis yang mendasari seluruh kerja sosialnya adalah khas dari Kiai Ahmad Dahlan sendiri.

Kiai Ahmad Dahlan, bukan seorang pengusaha batik, walaupun dalam beberapa perjalanan dakwahnya ke berbagai daerah diberitakan membawa dagangan.

Kerja keras Kiai Dahlan bukan dilakukan untuk memperoleh kekayaan, tapi dalam meletakkan akar fundamental gerakan Muhammadiyah.

Dalam beberapa kasus pendiri Muhammadiyah itu melelang hampir seluruh harta-benda miliknya hingga tersisa beberapa pakaian dan perkakas dapur.

Semangat membela kaum miskin dan tertindas, serta rendahnya Tingkat pendidikan pemeluk Islam yang seperti dininabobokkan kepercayaan atas takdir seperti mendasari seluruh kerja kerasnya melalui Muhammadiyah menggerakkan semua lapisan sosial mengubah nasib sosial pemeluk Islam di negeri ini berdasar prinsip cinta-kasih.

Gerakan yang dipelopori Kiai Ahmad Dahlan lebih merupakan suatu praktik dari pragmatisasi humanis yang diletakkan di atas dasar etika puritan yang berkali-kali ia sebut sebagai tafsir Alquran dengan akal suci.

Dalam mengembangkan berbagai kerja sosial, Kiai Dahlan belajar pada pengalaman kaum Kristiani dengan melibatkan elite intelektual Jawa dan intelektual asing, terutama Belanda yang beragama Nasrani dan datang ke negeri ini sebagai bagian dari kebijakan politik Pemerintah Kolonial ketika itu.

Dr. Soetomo, priayi Jawa, begitu tertarik dengan kerja sosial Muhammadiyah dan terlibat aktif dalam kegiatan kesehatan.

Walaupun awam dalam ilmu keagamaan dokter ini kemudian diangkat sebagai Penasihat Muhammadiyah khusus untuk bidang medis dan kesehatan. Bersama dokter-dokter Belanda mereka bersedia bekerja di Rumah Sakit Muhammadiyah tanpa menerima gaji.

Seorang penulis Serat Syech Siti Jenar yang terkenal itu, Brotokesowo, pernah diangkat sebagai anggota panitia verifikasi komisi di dalam Kongres Muhammadiyah 1924, setahun sesudah Kiai Dahlan wafat. Seluruhnya dilakukan bagi kepentingan pragmatisasi humanis ajaran Islam tersebut.

Haedar Nashir Ingin Tanwir Muhammadiyah Perkuat Energi Konstruktif untuk Umat dan Kemanusiaan

KUPANG, JAKARTAMU.COM | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menekankan pentingnya energi konstruktif untuk menghadapi berbagai tantangan global....

More Articles Like This