JAKARTAMU.COM | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi berbagai pengalaman saat masih menjadi jurnalis. Seorang jurnalis, kata Haedar, harus terus mengasah keilmuan dan mempertajam pengamatan.
“Dalam berproses kita harus menjadi seperti mata elang yang tajam. Belajar dan berproses itu berkelanjutan, kita harus mengetahui se detail-detailnya seperti halnya mata elang yang tajam agar kita menjadi pembelajar yang berkualitas,” jelas Haedar pada sesi materi workshop hari ke 2 Lensamu Academy Batch 1, Selasa (7/1/2025)
Pesan tersebut Haedar sampaikan dengan berkaca pada pengalaman pribadinya sebagai seorang jurnalis dan penulis. Haedar adalah wartawan Suara Muhammadiyah selama kurun waktu 10 tahun sejak 1985, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai pemred majalah tertua di Indonesia itu.
Sebagai penulis, Haedar seperti pernah diungkapkan dalam beberapa kesempatan, telah menulis lebih ratusan esai dan artikel, juga sekitar 30 buku.
Baca juga: Haedar Nashir Bicara Erosi Moral, Singgung Anwar Usman sampai Gus Miftah
”Pengalaman tersebut yang mendasari saya bahwa dalam bermedia dan mencari ilmu kita harus bagaikan mata elang yang tajam,” sebut Haedar sembari bercerita mengenai pengalamannya di bidang media dan kepenulisan.
Haedar juga memberikan pesan pada para tim media yang hadir bahwasannya dalam menjadi seorang tim media harus terbuka dan senantiasa terus belajar.
“Jadi tim media harus tetap mau membuka diri dan belajar. jangan merasa sudah mapan dan berada di zona nyaman. Kalau kita merasa terus berada di zona nyaman, maka kita akan selesai,” ungkap Haedar.
Harapannya dengan terus mencari ilmu, Haedar berharap keilmuan yang didapatkan akan menjadi pembentuk pribadi dan karakter yang bermakna bagi masyarakat.
“Itulah pentingnya untuk terus mencari ilmu dan berkembang. Dengan keilmuan yang didapat, kita harus menjadi pribadi dan karakter yang bermakna bagi Masyarakat,” ujar Haedar.
Baca juga: Seruan Haedar Nashir untuk 2025: Indonesia Berintegritas, Harmonis, dan Berkemajuan
Kesakitan yang Menyadarkan
Sebagai jurnalis, Haedar tentu punya mengalaman pahit yang memberi pelajaran. Dia ingat betul betapa tidak mudahnya untuk menjadi wartawan.
Tulisan hasil liputan yang disdorkan kepada redaktur hanya dibaca sekilas dicoret dengan tinta merah. Belum cukup, tulisan yang susah ditulis memakai mesin ketik itu digulung dan dibuang di tong sampah.
“Ternyata untuk membikin news atau berita, biarpun kita biasa menulis di media itu tidak selalu dipandang tepat dan cocok untuk menulis sebuah berita. Sampai sering kita yakin sudah menulis dengan bagus itu kemudian dicoret-coret dengan tinta merah ala wartawan lama,” kenang Haedar Nashir saat Peluncuran Lembaga Uji Konpetensi Wartawan Universitas Muhammasiyah Jakarta tahun 2020 silam, dikutip dari Channel Youtube tvMU.
Baca juga: Pandangan Haedar Nashir soal Kepala Daerah Dipilih DPRD
Awal-awal kejadian itu terjadi, Haedar Nashir mengaku sempat sakit hati juga. Tetapi dalam perjalanan waktu rasa itu berubah menjadi satu kesadaran untuk menjadi jurnalis yang lebih tangguh dan profesional.
Selama 10 tahun juga Haedar Nashir sering turun ke lapangan pergi ke daerah-daerah, naik bus, angkot, kereta api bahkan harus jalan kaki.
“Sejak tahun 1985 sampai tahun 1995 proses itu saya jalani. Waktu itu saya sempat belajar menulis, waktu itu pimrednya pak Ajib Hamzah, seorang budayawan dan jurnalis yang sangat dikenal di Yogyakarta,” kisahnya.
“Bagaimana diajari titik koma ketika menulis dan bagaimana membikin judul yang menarik dan lain sebagainya. Itu lewat proses perjalanan yang panjang. Itu jadi satu modal untuk bagaimana kita menjadi wartawan dan bagaimana menjadi seorang penulis termasuk penulis news,” kata Haedar.