Minggu, Januari 26, 2025
No menu items!

Haid dalam Islam: Bikin Orang-Orang Yahudi Shock

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi’l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).

Prof Dr KH Nasaruddin Umar dalam artikelnya berjudul “Perspektif Jender Dalam Islam” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina mengatakan dari segi penamaan saja, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haid dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 222.

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah ‘kotoran’ oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Nasaruddin mengatakan sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haid, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya.

Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas.

Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda “lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”.

Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut.

Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai “hal yang alami” (azan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita.

Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.

Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: “Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”. “Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’)”.

Bahkan Rasulullah sering kali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktik.

Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan Aisyah, antara lain, Aisyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haid, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haid dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian Aisyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadapnya.

Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh istri-istri Nabi yang lain.

Nasaruddin Umar mengatakan jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haid-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau “tempat” keluarnya darah itu (mawdhi ‘al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl.

Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan “tempat” haid (mawdhi ‘al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan “waktu” dan “zat” haid (‘ayn al-haydl) itu sendiri.

Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Padahal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum.

Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haid artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab.

Akan tetapi, kata Nasaruddin, kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi ‘al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu.

Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada “penghapusan” (nasakh) atau pengkhususan (takhshish).

Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (azan) dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi’ al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma’qul al-ma’na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu’-nya. Haydl itu sendiri bukan azan karena haydl hanya di-‘ibirah-kan dengan darah yang khusus.

Al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.

Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haid itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.

Perintah untuk “menjauhi” (fa’tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab’id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i’tizal).

Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan.

Upacara Ritual

Mengenai pembersihan diri (thaharah) dari haid, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari.

Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza’i dan Ibn Hazm.

Nasaruddin mengatakan dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.

“Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat,” demikian Nasaruddin Umar. (*)

Orang Zalim Disiksa Dunia Akhirat

JAKARTAMU.COM | Indonesia negara hukum, tetapi wajah penegakan hukum di negara ini tampak demikian buram. Persepsi yang demikian tak...

More Articles Like This