DALAM berbagai acara resmi Agus Salim santai saja menikmati rokok kretek yang asapnya membuat kebanyakan orang Eropa terasa menyengat.
Suatu ketika Pangeran Phillip dari Inggris yang mungkin merasa terganggu bertanya apa yang dihisap Salim. Salim menjawab, “Ini tuan, adalah benda yang membuat tuan-tuan datang dan menjajah negeri kami. Cengkeh.” Phillip yang tadinya hendak menegur jadi tidak enak sendiri.
Dalam sebuah acara makan malam Salim memilih menyantap hidangan dengan tangannya langsung. Seorang Eropa terkesima dengan tindakannya dan bertanya “Bukankah itu tidak higienis? Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah ada sendok dan garpu.”
Salim lantas menjawab: ”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang tuan-tuan pakai pernah masuk ke mulut banyak orang. Jadi, ini lebih higienis,” katanya sambil menunjukkan tangannya yang berlepotan makanan.
Siapa Agus Salim?
Haji Agus Salim adalah seorang diplomat, jurnalis, dan negarawan. Salah satu tokoh bangsa ini sempat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada 1947-1949.
“Agus Salim lahir dengan nama Masjhoedoelhaq Salim pada 8 Oktober 1884 di Desa Koto Gadang, Bukittinggi.”
Dalam buku H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme (2014) karya St Sularto, Agus Salim mendapat julukan sebagai “The Grand Old Man” karena kepiawaiannya dalam melakukan perundingan dengan negara-negara Arab serta memimpin delegasi Indonesia di forum PBB pada 1947.
Agus Salim lahir dengan nama Masjhoedoelhaq Salim pada 8 Oktober 1884 di Desa Koto Gadang, Bukittinggi. Nama lahirnya, yang berarti “pembela kebenaran”, diubah menjadi Agus Salim di awal masa kecilnya.
Salim menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School, yang pada saat itu dianggap sebagai hak istimewa bagi anak non-eropa. Kemudian ia melanjutkan studinya di Hogere Burgerschool di Batavia, dan lulus dengan skor tertinggi di seluruh Hindia Belanda.
Berubah Haluan
Agus Salim sempat gagal mendapatkan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda. Bahkan, R.A Kartini berniat menawarkan untuk menunda beasiswanya untuk dialihkan ke Salim, tetapi itu pun ditolak. Akhirnya, pria bertubuh kecil ini mengubah halauannya.
Pada 1905, C.S. Hurgronje, seorang admistrator kolonial terkemuka membawa Salim meninggalkan Hindia Belanda untuk bekerja sebagai penerjemah dan sekretaris di konsulat Belanda di Jeddah. Di sana, ia menangani urusan haji.
Selesai dari situ, Agus Salim kembali ke Hindia Belanda pada 1911. Ia kemudian mengejar karier di bidang jurnalisme. Ia menerbitkan karya-karyanya di penerbitan, seperti Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika.
“Salim merupakan salah satu pendukung paling vokal dari gerakan nasionalis Indonesia yang berkembang, pada periode yang dikenal sebagai kebangkitan nasional.”
Salim sempat menjabat sebagai editor di Neratja, sebuah surat kabar yang berkaitan dengan Sarekat Islam. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah Hollandsche Indische di kampung halamannya, meski setelah itu ditinggal untuk kembali ke Jawa.
Salim merupakan salah satu pendukung paling vokal dari gerakan nasionalis Indonesia yang berkembang, pada periode yang dikenal sebagai kebangkitan nasional. Ia menjadi pemimpin terkemuka dalam Syarikat Islam dan dianggap sebagai tangan kanan pemimpinnya, H.O.S Tjokroaminoto.
Kiprah Agus Salim
1915: Menjadi Pengurus Besar Central Sarekat Islam.
1917: Menjadi wartawan harian Neratja selama setahun, bekerja di Balai Pustaka hingga 1919, lalu menjadi redaktur Bataiaasch Nieuwsblad.
1921-1924: Menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil Sarekat Islam.
Bersama H.O.S Tjokroaminoto menerbitkan harian Fadjar Asia, lalu memimpin harian Mustika di Yogyakarta pada 1931-1932.
1933: Menjadi Ketua Dewan Partai Sarekat Islam Indonesia, tetapi tiga tahun kemudian keluar dan mendirikan Partai Penyadar.
1940-1945: Nonaktif dari politik dan berdagang arang.
1945: Menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
4 April 1947: Ketua misi diplomatik ke Timur Tengah serta menghadiri Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
19 Desember 1948: Ditawan Belanda bersama Sukarno dan Hatta. Diasingkan Berastagi, Parapat, Bangka, dan baru kembali ke Ibu Kota Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
17 Januari 1953: Menjadi dosen tamu mata kuliah agama Islam di Cornell University, Ithaca, dan menghadiri Simposium-Kolokium Islam di Princeton University. Kembali ke Indonesia pada 26 November 1953.
4 November 1954: Wafat pada pukul 14.42 di Rumah Sakit Umum Jakarta setelah sakit beberapa hari. Ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
27 Desember 1961: Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan.