Senin, Desember 30, 2024
No menu items!

Hak-Hak Perempuan di Luar Rumah Menurut Beberapa Ulama

Agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak ke luar rumah kecuali karena keadaan darurat.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Keberadaan perempuan di dalam atau di luar rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain berbunyi: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah terdahulu.”

Prof Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran” menyebut ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar rumah.

Al-Qurthubi (w 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain:

“Makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW, tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut.”

Selanjutnya mufasir tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak ke luar rumah kecuali karena keadaan darurat.

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-‘Arabi (1076 – 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya.

Sementara itu, penafsiran Ibnu Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti sholat, misalnya.

Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab, ulama ini antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila dibaca demikian, berarti, “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana.”

Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya waqimah dalam arti, “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan hormat.”

Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah “menampakkan perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan kegenitan berjalan.”

Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa: Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga.

Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.

Quraish Shihab mengatakan terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi “kebutuhan atau keperluan.”

Hal serupa dikemukakan oleh Tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini berarti bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah.

Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, “Bolehkah mereka bekerja?”

Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun menulis, dalam bukunya Ma’rakat At-Taqalid, bahwa “ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar.”

Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh menjelaskan: Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu.

Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.

Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti, “Berat, mantap, dan menetap.”

Akan tetapi, tulisnya lebih jauh, ,’Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”

Sa’id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer -memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.

Isa Abduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan perempuan.

Ayat yang dimaksud adalah: “Maka Kami berfirman, “Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah.”

Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.

Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.

Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, menurut Quraish Shihab, masih dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi SAW, sahabat-sahabat beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.

More Articles Like This