Oleh Ahsan Jamet Hamidi | Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan
PIMPINAN Ranting Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Pondok Cabe Ilir baru saja menyelenggarakan sebuah tradisi baik yang biasa dilakukan di lingkungan Muhammadiyah sebagai rangkaian dari perayaan Idulfitri, yaitu halal bihalal. Tradisi unik ini biasanya dimaknai dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, cara, dan variasi yang sangat beragam. Acara ini diisi oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti.
Spirit halalbihalal adalah bahwa setiap orang harus bisa membuka diri untuk memaafkan dan meminta maaf. Secara batiniah, yaitu dengan membuka hati untuk memaafkan dan meminta maaf. Secara fisik, hal ini bisa dilakukan dengan berjabat tangan dengan teman dan kerabat dekat. Ritual ini selalu dibarengi — dan ini yang tidak boleh tertinggal — oleh acara makan-makan bersama. Hidangan bisa disediakan oleh salah satu peserta, hasil iuran bersama, atau menggunakan model potluck (masing-masing membawa makanan khusus untuk disantap bersama). Tradisi baik ini bahkan tercatat dalam Kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud pada 1938.

Pesan Sekretaris Umum Muhammadiyah
Prof. Abdul Mu’ti menyampaikan pesan tentang betapa dahsyatnya kekuatan silaturahmi yang mampu membangun ketahanan mental dan fisik sehingga kita bisa menjadi lebih tangguh dan lebih sehat. Pesan-pesan penuh makna itu disampaikan dengan santai dan penuh canda, meskipun sempat sedikit terganggu oleh rintik hujan karena acara dilakukan di ruang terbuka.
Dalam sambutannya, Pak Menteri yang juga Sekretaris Umum Muhammadiyah itu menjelaskan tentang teori Johari Window atau Jendela Johari, dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti dan penuh jenaka. Ini adalah teori yang digunakan untuk membantu seseorang memahami hubungan antara dirinya dan orang lain. Teori ini berkaitan dengan kesadaran diri terhadap pikiran dan perilaku, baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh diri sendiri dan orang lain.
Ada empat bagian penting dalam teori ini, yaitu:
• Open Self – Wilayah terbuka, di mana seseorang dan orang lain saling memahami karakter, perasaan, perilaku, dan motivasi. Komunikasi di wilayah ini bisa terjadi secara efektif. Orang-orang yang berada dalam wilayah ini cenderung ceria, suka menyapa, menjabat tangan, dan mampu berbagi cerita dengan hangat.
• Blind Self – Wilayah buta, di mana orang lain mengetahui hal-hal tentang diri kita yang justru tidak kita sadari sendiri. Situasi ini bisa menyebabkan kesalahpahaman dan menghambat komunikasi yang efektif.
• Hidden Self – Wilayah tersembunyi atau rahasia, di mana seseorang menyembunyikan sebagian hal dari orang lain, misalnya karena malu, takut, atau kecewa.
• Unknown Self – Wilayah tak dikenal, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Di sini tidak terjadi komunikasi maupun interaksi yang efektif karena tidak ada pemahaman yang terbangun.
Makna Halal Bihalal
Halal bihalal adalah forum untuk membangun “jendela terbuka”. Di dalamnya ada semangat keterbukaan, penuh dengan sikap memaafkan dan meminta maaf. Saat seseorang berada di wilayah ini, hatinya akan terasa lapang dan terbuka. Ia mampu memaklumi dan memaafkan jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, jika memiliki masalah, ia juga akan lebih mudah menyampaikannya kepada orang lain. Proses berbagi seperti ini akan meringankan beban batin.
Orang yang terbuka cenderung memiliki harapan hidup lebih lama dibandingkan yang tertutup. Prof. Mu’ti mencontohkan kehidupan masyarakat desa yang umumnya lebih sehat dan panjang umur. Meskipun penampilan mereka sederhana, mereka hidup dalam keterbukaan dan apa adanya. Misalnya, ketika menikahkan anak, masyarakat desa menjadikannya sebagai sebuah hajatan bersama — berbeda dengan masyarakat kota yang lebih menganggapnya sebagai bersifat privat.
Halal bihalal adalah medium untuk menumbuhkan “jendela yang terbuka”, bukan sekadar bertemu dan bersalaman, tetapi juga membangun dialog penuh keintiman agar masing-masing bisa menyampaikan isi hati dengan tulus. Tak heran jika setelah halal bihalal, banyak orang merasa lega dan plong.
Halalbihalal adalah proses saling menghalalkan, yaitu proses menguraikan dan merelakan hal-hal yang selama ini belum dibicarakan secara terbuka, dalam semangat kebersamaan. Ia menjadi medium untuk mempertemukan banyak kepentingan dan aspirasi dalam ruang yang penuh keikhlasan dan sarat permaafan.
Secara alamiah, berada dalam lingkungan penuh kebersamaan dengan orang lain bisa menyenangkan. Kebersamaan mampu membuat hal-hal yang terasa berat saat dilakukan sendiri menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Misalnya, tradisi makan bersama — meskipun makanannya sederhana, jika dinikmati bersama, rasanya akan jauh lebih enak. Oleh karena itu, makan bersama dalam halal bihalal akan selalu menjadi tradisi yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang.
Halalbihalal mengandung semangat 3R: refreshing, recreation, dan reunion. Ketika ketiganya dijalani, tubuh dan jiwa kita akan terasa lebih sehat, nyaman, senang, dan bahagia.
Di akhir pesannya, Prof. Mu’ti berpesan agar warga persyarikatan senantiasa menghidupkan tradisi halal bihalal setelah Idulfitri. Ini adalah momentum untuk memperbaiki hubungan sosial kita sebagai sesama manusia yang hidup di satu bumi. Setelah hubungan diperbaiki, maka kita bisa memulai hidup dengan semangat baru.
Mengapa saat Lebaran orang senang memakai baju baru? Karena secara filosofis, setelah sebulan penuh berpuasa, kita perlu memperbarui niat, sikap, komitmen, dan tujuan hidup yang baru ke depan. Maka, baju baru adalah simbol dari pembaruan diri yang jauh lebih maknawi. (*)