Kamis, Desember 5, 2024
No menu items!

Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir Menurut Quraish Shihab

Must Read

Wa anzalna ilayka al-dzikra litubayyina li al-nas ma nuzzila ilayhim (Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka) ( QS 16 :46).

Wama anzalna ‘alayka al-kitab illa litubayyina lahum alladzina ikhtalafu fihi wa hudan wa rahmatan liqawmin yu’minun (Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu Al-Kitab [Al-Quran] ini kecuali agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman) ( QS 16 :64).

Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996) menjelaskan Al-Quran Al-Karim telah diyakini kebenarannya oleh kaum Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara utuh kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menuliskan, menghapalkan dan mempelajarinya.

Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat mengumpulkan naskah-naskah Al-Quran yang ditulis itu, kemudian menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam mushaf dewasa ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW, dan para pengikutnya lima belas abad yang lalu.

Nabi Muhammad ditugaskan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayatnya. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan Al-Quran ( QS 4 :105).

Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya. Tidak seorang Muslim pun yang dapat menggantikan penjelasan Rasul dengan penjelasan manusia lain, apa pun kedudukannya.

Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).

Nabi Muhammad SAW telah diberi oleh Allah SWT –melalui Al-Quran– hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan panutan terbaik bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat. ( QS 33 : 21).

Perintah untuk taat (athi’u) telah disebut dalam Al-Quran sebanyak sembilan belas kali. Terkadang, perintah tersebut digabungkan antara taat kepada Allah dengan, sekaligus, kepada Rasul: Athi’u Allah wa al-rasul ( QS 3 :32, 132; 8:1, 46; dan sebagainya). Tetapi juga, terkadang antara keduanya dipisah dengan kata “athi’u”: Athi ‘u Allah wa athi’u al-rasul ( QS 4:59 ; 24:54; 4:23; dan sebagainya).

Menurut Quraish, penggabungan dan pemisahan di atas bukanlah tidak mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad SAW, harus diikuti, baik yang bersumber langsung dari Allah (Al-Quran) –sebagaimana ayat yang menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul di atas– maupun perintah-perintahnya berupa kebijaksanaan –seperti ayat-ayat kelompok kedua di atas.

Itulah sebabnya mengapa Al-Quran menegaskan bahwa hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan meninggalkan apa yang dilarangnya ( QS 59 :7). Dan bahwa barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah (QS 4:80), sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa Muhammad SAW tiada lain adalah seorang Rasul (QS 3:144).

Al-Quran juga mengancam orang-orang yang menentang perintahnya ( QS 24 :62). Bahkan, ia menyatakan bahwa mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya (QS 4:65).

Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka yang menduga bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai wewenang dalam urusan agama, adalah keliru. Ayat laysa laka min al-amri syai’un (QS 3:128), diterjemahkan oleh sementara orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang urusan (agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang dimaksud dengan “urusan” dalam ayat ini adalah urusan diterima atau ditolaknya tobat orang-orang tertentu, sebagaimana bunyi lanjutan ayat tersebut.

Sementara orang ada yang meragukan otentisitas penjelasan-penjelasan Nabi yang merupakan bagian dari Sunnah (hadits). Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H).

Dugaan yang sangat keliru ini timbul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis yang, secara resmi, diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW.

Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:

  1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
  2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis langsung oleh sahabat ‘Abdullah bin Amir bin ‘Ash –seorang sahabat yang, oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis– dan sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
  3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan ulama yang –oleh Ibn Sirin– dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
  4. Shafifah Jabir bin ‘Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada’, dan lain-lain.

Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW, telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan tabi’in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan hadis (pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam memahami riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) yang menyatakan bahwa para ulama menghapal sekian ratus ribu hadis.

Mereka menduga bahwa jumlah yang ratusan ribu itu adalah jumlah matan (teks redaksi hadis), sehingga –dengan demikian– mereka menganggap mustahil penulisannya secara keseluruhan sejak awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari bahwa jumlah hadis, yang dinyatakan ratusan ribu tersebut, bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) hadis. Karena satu matan hadis dapat memiliki puluhan jalur.

Ada pula yang menduga bahwa hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis telah dinukilkan oleh para pengarangnya melalui “penghapal-penghapal hadis”, yang hanya mampu menghapal tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah. “Dugaan ini timbul karena kedangkalan pengetahuan mereka tentang ilmu hadis,” ujar Quraish.

Jika mereka mengetahui dan menyadari syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal hadis (antara lain, seperti tepercaya, kuat ingatan, identitasnya dikenal sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai majhul al-hal aw al-‘ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya atau juga identitas pribadinya).

Ada pula yang menduga bahwa para ahli hadis hanya sekadar melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan (kritik intern).

Dugaan ini juga keliru, karena dua dari lima syarat penilaian hadis shahih (yaitu tidak syadz dan tidak mengandung ‘illah) justru menyangkut teks (matan) hadis-hadis tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun sepintas lalu berkaitan dengan sanad hadis, bertujuan untuk memberikan keyakinan akan kebenaran hadis-hadis tersebut.

Akhirnya, kata Quraish, dapat disimpulkan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan tertentu.

Strategi Dakwah Muhammadiyah: Ikut Yasinan di Malam Jumat

JAKARTAMU.COM | Kisah KH Abdur Rozak Fachrudin mengajar Yasinan sungguh masih banyak diingat kader Muhammadiyah. Kiai yang akrab dipanggil...

More Articles Like This