JAKARTAMU.COM | Di tengah pusaran perubahan zaman yang serba cepat, manusia senantiasa mencari pijakan untuk memahami siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia dinilai. Tiga paradigma besar dalam sejarah pemikiran dan praktik sosial dunia telah berupaya menjawab pertanyaan ini: kapitalisme, sosialisme, dan Islam. Masing-masing menawarkan tolok ukur yang berbeda—harta, kelas, dan takwa—sebagai dasar dalam menilai martabat manusia.
Kapitalisme: Kepemilikan dan Nilai Ekonomi
Kapitalisme menempatkan kepemilikan pribadi dan pasar bebas sebagai pilar utama. Di sistem ini, nilai manusia diukur berdasarkan kemampuan individu dalam menghasilkan, mengakumulasi, dan mengendalikan sumber daya. Sukses seseorang seringkali disandingkan dengan kekayaannya, jumlah aset, serta daya saing dalam dunia bisnis dan kerja.
Kekuatan kapitalisme terletak pada dorongan inovasi, peluang pertumbuhan, dan kebebasan individu. Namun kelemahannya nyata: sistem ini menciptakan jurang lebar antara mereka yang punya akses terhadap modal dan mereka yang tidak. Nilai manusia pun rentan direduksi menjadi angka—angka gaji, laba, dan indeks kekayaan. Segala sesuatu dihitung, dan yang tak terhitung, seperti kejujuran atau empati, dianggap kurang relevan dalam arena ekonomi.
Sosialisme: Kelas Sosial dan Keadilan Struktural
Sosialisme menyoroti ketimpangan struktural yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Dalam paradigma ini, manusia dinilai dari posisi dan peran dalam sistem produksi: apakah ia bagian dari kelas pekerja yang dieksploitasi atau dari golongan pemilik yang dominan. Sosialisme bertujuan menghapuskan kesenjangan kelas dan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih merata.
Nilai seseorang tidak ditentukan oleh kepemilikan pribadi, tetapi dari kontribusinya pada kepentingan kolektif. Pekerjaan dianggap setara dalam martabat, dan kepentingan bersama ditempatkan di atas kepentingan individu. Namun ketika sistem ini diterapkan secara sentralistik dan otoriter, nilai individu cenderung dilebur ke dalam identitas kelas yang seragam. Kebebasan dan keberagaman aspirasi manusia kadang dikorbankan atas nama keadilan struktural.
Islam: Takwa sebagai Ukuran Hakiki
Islam hadir dengan pendekatan yang berbeda. Ia menilai manusia bukan dari apa yang dimiliki atau dari posisi dalam masyarakat, tetapi dari apa yang diyakini, dilakukan, dan disadari dalam relasi vertikal dengan Tuhan dan relasi horizontal dengan sesama. Takwa menjadi ukuran utama—sebuah konsep yang memadukan keimanan, keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan tanggung jawab moral.
Dalam pandangan Islam, kekayaan bukanlah cela atau kebanggaan, melainkan amanah. Kelas sosial bukan untuk dirayakan atau ditolak, tetapi untuk disikapi dengan adil. Zakat, sedekah, larangan riba, dan etika muamalah menunjukkan bahwa ekonomi tidak bebas nilai, tetapi harus berpijak pada dimensi transenden. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak bergantung pada suku, warna kulit, atau status duniawinya, melainkan pada ketakwaannya.
Takwa bukanlah kemewahan spiritual eksklusif. Ia dimungkinkan untuk semua: kaya atau miskin, terpelajar atau tidak, elite atau rakyat jelata. Islam menempatkan kualitas batin dan tindakan nyata dalam timbangan yang setara dan adil. Ia membuka ruang bagi setiap manusia untuk meraih kemuliaan melalui kebaikan dan keikhlasan, bukan dari warisan status atau jumlah kekayaan.
Tiga Jalan, Tiga Ukuran, Satu Pertanyaan
Ketiga paradigma ini masing-masing menawarkan daya tarik. Kapitalisme menjanjikan kebebasan dan kemajuan. Sosialisme mengusung keadilan dan solidaritas. Islam mengajak pada keseimbangan dan makna hidup yang lebih dalam. Namun dalam praktiknya, semua sistem menghadapi tantangan. Kapitalisme melahirkan ketimpangan, sosialisme berisiko mengekang kebebasan, dan umat Islam sendiri sering gagal menghidupkan nilai takwa dalam kehidupan sosial.
Pertanyaannya tetap sama: dengan standar apa kita menilai manusia? Apakah kita masih terpikat oleh gemerlap kekayaan? Terjebak dalam kebencian kelas? Ataukah berani mengakui bahwa manusia harus dilihat dari ketulusan, kejujuran, dan pengabdiannya pada nilai-nilai yang melampaui dunia material?
Islam menawarkan takwa sebagai jawaban etis dan transenden. Sebuah standar yang tidak bisa dibeli, diwarisi, atau dipamerkan. Ia hanya bisa dibentuk oleh kesadaran, diuji oleh tindakan, dan dinilai oleh Yang Maha Mengetahui.