JAKARTAMU.COM | Pada perayaan HUT Partai Gerindra, terdengar pekik “Hidup Jokowi!” yang dipimpin oleh Prabowo Subianto di hadapan para kader dan simpatisan. Pekikan ini tentu menarik perhatian publik, mengingat dalam demokrasi, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya.
Secara politis, seruan seperti ini bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan atau loyalitas kepada seorang pemimpin. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah lebih penting menghidupkan nama seorang tokoh, atau memastikan kesejahteraan rakyat yang ia pimpin?
Dalam sistem demokrasi, pemimpin dipilih untuk mengabdi kepada rakyat, bukan untuk dipuja sebagai figur sentral. Sejarah telah menunjukkan bahwa kultus individu sering kali berujung pada ketimpangan kekuasaan. Sebaliknya, negara yang menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan cenderung lebih stabil dan sejahtera.
Jika dibandingkan, seruan “Hidup Rakyat Indonesia!” memiliki makna yang lebih luas dan fundamental. Pekikan ini menegaskan bahwa kesejahteraan, keadilan, dan kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan keputusan politik.
Alih-alih sekadar meneriakkan nama seorang pemimpin, lebih baik kita bertanya:
- Sejauh mana kebijakan saat ini berdampak positif bagi rakyat?
- Apakah kesejahteraan rakyat meningkat di bawah kepemimpinan yang ada?
- Bagaimana memastikan bahwa kekuasaan tetap berpihak pada rakyat, bukan hanya pada elite politik?
Di era demokrasi yang sehat, apresiasi terhadap pemimpin harus didasarkan pada kinerja, bukan sekadar loyalitas politik. Oleh karena itu, pekikan “Hidup Rakyat Indonesia dengan Pemimpin yang Adil!” bisa menjadi seruan yang lebih mencerminkan semangat kebangsaan sejati—mengutamakan kepentingan rakyat tanpa mengabaikan peran pemimpin yang bertanggung jawab. (Dwi Taufan Hidayat)